Jumat, 15 Juni 2012


Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983
Tentang : Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum 
Acara Pidana

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 27 TAHUN 1983 (27/1983)
Tanggal : 1 AGUSTUS 1983 (JAKARTA)
Sumber : LN 1983/36; TLN NO. 3258
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
bahwa perlu diadakan peraturan pelaksanaan ketentuan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana;
Mengingat  :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang  Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3209);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA.BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan
1. KUHAP adalah singkatan dari Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 285 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
2. Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut RUTAN adalah tempat
tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan;
3. Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara selanjutnya disebut
RUPBASAN adalah tempat benda yang disita oleh Negara untuk
keperluan proses peradilan;
4. Benda sitaan adalah benda yang disita oleh Negara untuk keperluan
proses peradilan;
5. Menteri adalah Menteri Kehakiman.
BAB II
SYARAT KEPANGKATAN DAN PENGANGKATAN PENYIDIK
Pasal 2
(1) Penyidik adalah :
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang
sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan 11/b) atau yang
disamakan dengan itu.
(2) Dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan
Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan
Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk oleh
Kepala Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.(4) Wewenang penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diangkat oleh
Menteri atas usul dari Departemen"yang membawahkan pegawai
negeri tersebut. Menteri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih
dulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia.
(6) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5)
dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 3
(1) Penyidik pembantu adalah :
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang
sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya
berpangkat Pengatur Muda (Golongan 11/a) atau yang
disamakan dengan itu.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b
diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul
komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.
(3) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB III
PAKAIAN ATRIBUT DAN PERANGKAT
KELENGKAPAN PERSIDANGAN
Pasal 4
(1) Selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan, hakim, penuntut
umum, panitera dan penasehat hukum, menggunakan pakaian
sebagaimana diatur dalam pasal ini.
(2) Pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi hakim, penuntut
umum dan penasehat hukum adalah toga berwarna hitam, dengan
lengan lebar, simare dan bef dengan atau tanpa peci hitam.(3) Perbedaan toga bagi hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum
adalah dalam ukuran dan warna dari simare dan bef.
(4) Pakaian bagi panitera dalam persidangan adalah jas berwarna hitam,
kemeja putih dan dasi hitam.
(5) Hal yang berhubungan dengan ukuran dan warna dari simare dan bef
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) serta kelengkapan pakaian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(6) Selain memakai pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hakim
dan penuntut umum memakai atribut.
(7) Atribut sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pasal 5
Ketentuan mengenai pakaian dan atribut dalam sidang bagi hakim agung dan
panitera pada Mahkamah Agung, diatur tersendiri oleh Mahkamah Agung.
Pasal 6
Ketentuan mengenai pakaian dalam sidang pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 tidak berlaku bagi pemeriksaan peradilan anak.
BAB IV
GANTI KERUGIAN
Pasal 7
(1) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95
KUHAP hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan
sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara
yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka
waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat pemberitahuan penetapan
praperadilan.Pasal 8
(1) Ganti kerugian dapat diberikan atas dasar pertimbangan hakim.
(2) Dalam hal hakim mengabulkan atau menolak tuntutan ganti kerugian,
maka alasan pemberian atau penolakan tuntutan ganti kerugian
dicantumkan dalam penetapan.
Pasal 9
(1) Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan
serendah-rendahnya berjumlah Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(2) Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana
dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit
atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati,
besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp 3.000.000,-
(tiga juta rupiah).
Pasal 10
(1) Petikan penetapan mengenai ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari
setelah penetapan diucapkan.
(2) Salinan penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diberikan kepada penuntut umum, penyidik dan Direktorat
Jenderal Anggaran dalam hal ini Kantor Perbendaharaan Negara
setempat.
Pasal 11
(1) Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh Menteri Keuangan
berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10.
(2) Tata cara pembayaran ganti kerugian diatur lebih lanjut oleh Menteri
Keuangan.BAB V
REHABILITASI
Pasal 12
Permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3)
KUHAP diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan
yang berwenang, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan
diberitahukan kepada pemohon.
Pasal 13
(1) Petikan penetapan praperadilan mengenai rehabilitasi disampaikan
oleh panitera kepada pemohon.
(2) Salinan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan
kepada penyidik dan penuntut umum yang menangani perkara
tersebut.
(3) Salinan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disampaikan pula kepada instansi tempat bekerja yang bersangkutan
dan kepada Ketua Rukun Warga di tempat tinggal yang bersangkutan.
Pasal 14
(1) Amar putusan dari pengadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai
berikut :
"Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya".
(2) Amar penetapan dari praperadilan mengenai rehabilitasi berbunyi
sebagai berikut :
"Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya".
Pasal 15
Isi putusan atau penetapan rehabilitasi diumumkan oleh penitera dengan
menempatkannya pada papan pengumuman pengadilan.BAB VI
PRAPERADILAN PADA KONEKSITAS
Pasal 16
Praperadilan dalam tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh
mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan
militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 KUHAP didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi masing-masing peradilan.
BAB VII
PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA TERTENTU
Pasal 17
Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat
(2)KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang
berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
RUMAH TAHANAN NEGARA
Pasal 18
(1) Di tiap Ibukota Kabupaten atau Kotamadya dibentuk RUTAN oleh
Menteri.
(2) Apabila dipandang perlu Menteri dapat membentuk atau menunjuk
RUTAN di luar tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
merupakan cabang dari RUTAN.
(3) Kepala Cabang RUTAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
Pasal 19
(1) Di dalam RUTAN ditempatkan tahanan yang masih dalam proses
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan negeri,
pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.(2) Tempat tahanan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, umur, dan
tingkat pemeriksaan.
(3) Untuk keperluan administrasi tahanan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)dibuat daftar tahanan sesuai dengan tingkat pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan penggolongan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Kepala RUTAN tidak boleh menerima tahanan dalam RUTAN, jika tidak
disertai surat penahanan yang sah dikeluarkan pejabat yang
bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu, sesuai dengan
tingkat pemeriksaan.
(5) Kepala RUTAN tiap bulan membuat daftar mengenai tahanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan disampaikan kepada
Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pemasyarakatan dengan
tembusan kepada pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas
tahanan itu, sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan kepada Kepala
Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan.
(6) Kepala RUTAN memberitahukan kepada pejabat yang bertanggung
jawab secara juridis atas tahanan itu, sesuai dengan tingkat
pemeriksaan mengenai tahanan yang hampir habis masa penahanan
atau perpanjangan penahanannya.
(7) Kepala RUTAN demi hukum mengeluarkan tahanan yang telah habis
masa penahanan atau perpanjangan penahanannya.
(8) Dalam hal tertentu tahanan dapat diberi izin meninggalkan RUTAN
untuk sementara dan untuk keperluan ini harus ada izin dari pejabat
yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu.
(9) Pada RUTAN ditugaskan dokter yang ditunjuk oleh Menteri, guna
memelihara dan merawat kesehatan tahanan.
(10) Tahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) selama berada di luar
RUTAN dikawal dan dijaga oleh petugas Kepolisian.
Pasal 20
(1) Izin kunjungan bagi penasehat hukum, keluarga dan lain-lainnya
diberikan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas
tahanan itu, sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
(2) Pengaturan mengenai hari, waktu kunjungan, dan persyaratan lainnya,
ditetapkan oleh Kepala RUTAN.(3) Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
hakim pengadilan tinggi dan hakim agung, wewenang pemberian izin
kunjungan dilimpahkan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah
hukumnya terdapat RUTAN tempat tersangka atau terdakwa ditahan.
Pasal 21
(1) RUTAN dikelola oleh Departemen Kehakiman.
(2) Tanggung jawab juridis atas tahanan ada pada pejabat yang menahan
sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
(3) Tanggung jawab secara fisik atas tahanan ada pada Kepala RUTAN.
(4) Tanggung jawab atas perawatan kesehatan tahanan ada pada dokter
yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 22
(1) RUTAN dipimpin oleh Kepala RUTAN yang diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri.
(2) Dalam melakukan tugasnya Kepala RUTAN dibantu oleh Wakil Kepala.
Pasal 23
(1) Kepala RUTAN mengatur tata tertib RUTAN berdasarkan pedoman
yang ditentukan oleh Menteri.
(2) Kepala RUTAN tiap tahun membuat laporan kepada Menteri mengenai
tahanan yang di bawah pengawasannya.
(3) Tembusan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
disampaikan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa
Agung dan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 24
Struktur organisasi, tugas dan wewenang RUTAN diatur lebih lanjut oleh
Menteri.Pasal 25
(1) Pejabat dan pegawai RUTAN dalam melakukan tugasnya memakai
pakaian dinas seragam.
(2) Bentuk dan warna pakaian dinas seragam sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) serta perlengkapannya diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(3) Pejabat atau pegawai tertentu RUTAN dalam melakukan tugasnya
dapat dipersenjatai dengan senjata api laras panjang atau senjata api
genggam atas izin Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
BAB IX
RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA
Pasal 26
(1) Di tiap Ibukota Kabupaten/Kotamadya dibentuk RUPBASAN oleh
Menteri.
(2) Apabila dipandang perlu Menteri dapat membentuk RUPBASAN di luar
tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang merupakan
cabang RUPBASAN.
(3) Kepala Cabang RUPBASAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
Pasal 27
(1) Di dalam RUPBASAN ditempatkan benda yang harus disimpan untuk
keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk barang
yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim.
(2) Dalam. hal benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
mungkin dapat disimpan dalam RUPBASAN, maka cara penyimpanan
benda sitaan tersebut diserahkan kepada Kepala RUPBASAN.
(3) Benda sitaan disimpan di tempat RUPBASAN untuk menjamin
keselamatan dan keamanannya.
(4) Kepala RUPBASAN tidak boleh menerima benda yang harus disimpan
untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan, jika tidak disertai surat penyerahan yang sah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang
bertanggungjawab secara juridis atas benda sitaan tersebut.
Pasal 28
(1) Penggunaan benda sitaan bagi keperluan penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di pengadilan, harus ada surat permintaan dari pejabat
yang bertanggungjawab secara juridis atas benda sitaan tersebut.
(2) Pengeluaran barang rampasan untuk melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan
atas permintaan jaksa secara tertulis.
(3) kepala RUPBASAN menyaksikan pemusnahan barang rampasan yang
dilakukan oleh jaksa.
Pasal 29
Kepala RUPBASAN setiap triwulan membuat laporan tentang benda sitaan
yang disampaikan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal
Pemasyarakatan dengan tembusan kepada pejabat yang bertanggung jawab
secara juridis atas benda sitaan tersebut sesuai dengan tingkat pemeriksaan
dan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang
bersangkutan.
Pasal 30
(1) RUPBASAN dikelola oleh Departemen Kehakiman.
(2) Tanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut, ada pada
pejabat sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
(3) Tanggung jawab secara fisik atas benda sitaan tersebut ada pada
Kepala RUPBASAN.
Pasal 31
(1) RUPBASAN dipimpin oleh Kepala RUPBASAN yang diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri.
(2) Dalam melakukan tugasnya Kepala RUPBASAN dibantu oleh Wakil
KepalaPasal 32
(1) Di samping tanggung jawab secara fisik atas benda sitaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) Kepala RUPBASAN
bertanggung jawab atas administrasi benda sitaan.
(2) Kepala RUPBASAN tiap tahun membuat laporan kepada Menteri
mengenai benda sitaan.
(3) Tembusan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
disampaikan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa:
Agung dan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 33
Struktur organisasi, tugas dan wewenang RUPBASAN diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pasal 34
(1) Pejabat dan pegawai RUPBASAN dalam melakukan tugasnya memakai
pakaian dinas seragam.
(2) Bentuk dan warna pakaian dinas seragam sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) serta perlengkapannya diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(3) Pejabat atau pegawai tertentu RUPBASAN dalam melakukan tugasnya
dapat dipersenjatai dengan senjata api laras panjang atau senjata api
genggam atas izin Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
BAB X
JAMINAN PENANGGUHAN PENAHANAN
Pasal 35
(1) Uang jaminan penangguhan penahanan yang ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disimpan di
kepaniteraan pengadilan negeri.
(2) Apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat
waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut
menjadi milik negara dan disetor ke Kas Negara.Pasal 36
(1) Dalam hal jaminan itu adalah orang, dan tersangka atau terdakwa
melarikan diri maka setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak
diketemukan, penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlahnya
telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat
pemeriksaan.
(2) Uang yang dimaksud dalam ayat (1) harus disetor ke Kas Negara
melalui panitera pengadilan negeri.
(3) Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang
dimaksud ayat (1) jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang
dan hasilnya disetor ke Kas Negara melalui panitera pengadilan negeri.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
(1) Sebelum  penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan penyidik
pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diangkat berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini, penyidik dan penyidik pembantu yang ada
tetap menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan
pengangkatan sebelumnya.
(2) Dua tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini, pengangkatan
dan kepangkatan penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 38
(1) Sebelum terbentuknya RUTAN berdasar Peraturan Pemerintah ini
Menteri menetapkan lembaga pemasyarakatan tertentu sebagai
RUTAN.
(2) Menteri dapat menetapkan tempat tahanan yang terdapat dalam
jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan dan tempat
lainnya sebagai cabang RUTAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (2).
(3) Kepala cabang RUTAN sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
memberi laporan bulanan tentang tahanan kepada Kepala RUTAN yang
daerah hukumnya meliputi cabang RUTAN tersebut.Pasal 39
(1) Sebelum terbentuknya RUPBASAN berdasar Peraturan Pemerintah ini,
penyimpanan benda sitaan tersebut dapat dilakukan di kantor
Kepolisian Negara Republik Indonesia, di kantor Kejaksaan Negeri, di
kantor Pengadilan Negeri dan tempat-tempat lain sesuai dengan
ketentuan dalam KUHAP.
(2) Pengelolaan dan biaya penyimpanan benda sitaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan dibebankan pada masingmasing instansi yang bersangkutan.
(3) Pejabat yang bertanggung jawab atas penyimpanan benda sitaan
sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan setiap 6
(enam) bulan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal
Pemasyarakatan.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, S.H.PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
I. UMUM
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP
tercantum ketentuan yang memerlukan peraturan pelaksanaannya,
misalnya :
a. Pasal 6 ayat (1) yang mengatur syarat kepangkatan bagi
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang penyidikan;
b. Pasal 10 ayat (1) yang mengatur syarat kepangkatan bagi
pejabat Kepolisian Negara. Republik Indonesia, dan pegawai
negeri sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang diangkat sebagai penyidik pembantu;
c. Pasal 231 ayat (1) mengenai jenis,bentuk,dan warna pakaian
sidang serta atribut dan hal lain yang berhubungan dengan
perangkat kelengkapan sidang bagi hakim, penuntut umum,
panitera dan penasihat hukum.
Selain pelaksanaan ketentuan tersebut di atas yang perlu diatur
dalam Peraturan Pemerintah ada pula yang perlu diatur dengan
Keputusan Menteri Kehakiman sebagaimana tercantum dalam Pasal
231 ayat (2) yaitu mengenai tata tertib persidangan.
Dalam KUHAP tercantum beberapa pasal yang merupakan
materi baru, antara lain mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi,
yang tercantum dalam BAB XII, rumah tahanan negara (RUTAN)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a,rumah
penyimpanan benda sitaan negara (RUPBASAN)sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).
Sebagai materi baru perlu diatur pelaksanaannya, misalnya
mengenai ganti kerugian, kapan dapat diajukan tuntutan ganti
kerugian, batas jumlahnya,dan siapa yang membayar.Demikian pula
dalam rehabilitasi diatur mengenai jangka waktu mengajukan
rehabilitasi dan cara mengajukan permintaan rehabilitasi.
Sehubungan dengan diaturnya tindak pidana koneksitas, dalam
BAB XI KUHAP maka diatur ketentuan mengenai praperadilan dalam
perkara koneksitas.
Agar supaya ada kesatuan pendapat mengenai makna dari Pasal
284 maka dalam Peraturan Pemerintah ini perlu ada pengaturan
mengenai hal ini. Dalam BAB RUTAN diatur mengenai tempat
kedudukan,pengelolaan serta hubungan pejabat RUTAN dengan
pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan.
Dalam BAB RUPBASAN diatur hal-hal mengenai tempat
kedudukan, pengelolaan serta pejabat yang bertanggung jawab atas benda-benda sitaan dan barang yang dirampas untuk negara,baik
secara juridis maupun secara fisik.
Selain itu dalam Peraturan Pemerintah ini diatur pula mengenai
jaminan penangguhan penahanan dalam BAB tersendiri.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1), (2), (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kewenangan penunjukan termasuk kewenangan untuk
pembebasan.
Ayat (5)
Usul Pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil oleh
Departemen yang membawahi pegawai negeri tersebut,
diajukan kepada Menteri dengan tembusan kepada Jaksa Agung
dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia guna kepentingan
pembuatan rekomendasi.
Ayat (6)
Kewenangan termasuk kewenangan pemberhentian.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5)
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini ketentuan yang
mengatur mengenai perangkat kelengkapan persidangan yang
diatur dalam Staatsblad Tahun 1848 Nomor 8 dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Ayat (6) dan (7)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.Pasal 6
Dengan menggunakan pakaian tidak resmi,akan menimbulkan suasana
kekeluargaan dan akan memberi pengaruh yang baik bagi anak sebagai
terdakwa.
Pasal 7
Pembatasan jangka waktu pengajuan ganti kerugian dimaksud agar
penyelesaiannya tidak terlalu lama sehingga menjamin kepastian hukum.
Pasal 8
Ayat (1)
Dalam menetapkan dikabulkan atau tidaknya tuntutan ganti kerugian,hakim
mendasarkan pertimbangannya kepada kebenaran dan keadilan, sehingga
dengan demikian tidak semua tuntutan ganti kerugian akan dikabulkan oleh
hakim. Misalnya apabila tuntutan tersebut didasarkan atas hal yang
menyesatkan atau bersifat menipu, maka tepat kalau tuntutan demikian itu
ditolak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Pembayaran ganti kerugian dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Apabila permintaan rehabilitasi diajukan bersama-sama dengan permintaan
mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP maka penetapan tentang
rehabilitasi dicantumkan sekaligus dengan penetapan sah tidaknya
penangkapan atau penahanan tersebut.
Pasal 13
Cukup jelas.Pasal 14
Dalam hal permohonan rehabilitasi diajukan oleh keluarga atau kuasanya,
maka pemulihan hak itu untuk yang dimohonkan.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Wewenang penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara
khusus oleh undang-undang tertentu dilakukan oleh penyidik, jaksa dan
pejabat penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Bagi penyidik dalam Perairan Indonesia, zona tambahan, Landas kontinen
dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, penyidikan dilakukan oleh perwira
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan pejabat penyidik lainnya yang
ditentukan oleh undang-undang yang mengaturnya.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cabang RUTAN bertempat kedudukan di dalam wilayah kecamatan.
Ayat (3)
Kepala Cabang RUTAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas
usul pimpinan yang bersangkutan.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tempat tahanan untuk pria dewasa, wanita dewasa, anak laki-laki dan anak
perempuan masing-masing dipisahkan satu sama lain.
Tempat tahanan anak perlu dipisahkan dari orang dewasa, agar jangan
sampai anak tersebut mendapat pengaruh yang kurang baik.
Untuk memudahkan administrasi dan pengawasan, selain pemisahan
tahanan berdasar jenis kelamin dan umur, diadakan pula pemisahan
berdasarkan tingkat pemeriksaan.Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pengeluaran tahanan oleh pejabat yang berwenang menahan,namun apabila
sampai pada waktunya masa tahanan habis,belum ada perintah
perpanjangan atau perintah pengeluaran,pejabat RUTAN berwenang
mengeluarkan tahanan tersebut demi hukum.
Untuk menghindarkan masalah tersebut,maka paling lambat 10
(sepuluh)hari sebelum masa tahanan habis Kepala RUTAN memperingatkan
kepada pejabat yang bertanggungjawab secara juridis tentang hampir
habisnya masa tahanan tersebut.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu dalam ayat ini adalah :
a. Apabila tahanan menderita sakit yang memerlukan perawatan
dan/atau pemeriksaan dokter di luar RUTAN, maka selain harus
memenuhi ketentuan ayat ini, harus pula disertai keterangan
dokter RUTAN yang ditunjuk oleh Menteri.
b. Pulang ke rumah keluarganya,karena keluarga sakit
keras,kematian anak,isteri,orang tua dan sebagainya yang
menurut pertimbangan pejabat yang bertanggung jawab secara
juridis dapat disetujui.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas
tahanan yaitu penyidik, penuntut umum atau hakim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Kepala RUTAN bertanggung jawab atas pengawasan tahanan yang
menyangkut kesejahteraan tahanan dan pengawasan atas keamanan dari
tahanan, jika diperlukan minta bantuan dari kepolisian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kepala Cabang RUPBASAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas usul
pimpinan yang bersangkutan.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Batang atau benda yang tidak dimungkinkan untuk disimpan dalam
RUPBASAN adalah seperti, antara lain kapal laut.
Ayat (3) dan (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Penyerahan uang jaminan kepada kepaniteraan pengadilan negeri dilakukan
sendiri oleh pemberi jaminan dan untuk itu panitera memberikan tanda
terima.
Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera disampaikan kepada
pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Jumlah uang sebagaimana dimaksud dalam ayat ini ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, pada waktu menerima
permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan orang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hasil penjualan lelang benda sitaan tersebut, sejumlah yang telah ditetapkan
oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disetorkan
ke Kas Negara sebagai pembayaran dari penjamin.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Pembentukan RUTAN akan dilakukan secara berangsur-angsur. Sebelum
terbentuknya RUTAN berdasarkan Peraturan Pemerintah ini Menteri
Kehakiman menetapkan lembaga pemasyarakatan tertentu sebagai RUTAN.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
______________________________________

Sabtu, 09 Juni 2012


Macam-macam Persangkaan / Dakwaan

-   Tunggal       :   Apabila pelaku hanya melakukan satu tindak pidana yang diatur dalam satu pasal saja, dalam persidangan  hanya dibuktikan satu pasal saja  contoh penganiayaan biasa : pasal 351 ayat (1) KUHP.

-  Subsideritas :   Apabila pelaku melakukan satu tindak pidana yang diatur dalam beberapa pasal yang sejenis, dalam persidangan seluruhnya harus dibuktikan kemudian tinggal memilih pasal yang  mana yang terbukti. Contoh pembunuhan : primer pasal 340 KUHP subsider pasal 338 KUHP lebih subsider pasal 351 ayat (3) KUHP, penulisan pasalnya diurutkan dari pasal yang terberat sampai yang paling ringan,

-   Alternatif     :    Apabila pelaku melakukan satu tindak pidana tetapi penyidik atau jaksa bingung menerapkan pasal yang mana yang sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana karena tindakan tersebut diatur dalam  dua ketentuan pasal yang unsur-unsurnya hampir sama, didalam persidangan cukup dibuktikan pasal yang terbukti saja contohnya seorang preman yang dengan ancaman kekerasan mendapat uang dari tangan kondektur bis kota, disini ada keragu-raguan apakah kondektur tersebut yang memberikan atau preman tersebut yang mengambilnya sendiri apakah tindakan tersebut masuk dalam  katagori pencurian atau pemerasan sehingga penulisannya : pasal 368 KUHP atau pasal 365 KUHP.

-  Kumulatif     :  Apabila pelaku melakukan beberapa tindak pidana yang diatur dalam ketentuan pasal yang berbeda, didalam persidangan kedua pasal yang dipersangkakan harus dibuktikan, contohnya mencuri dan memperkosa penulisan pasalnya : pasal 363 KUHP dan 285 KUHP bisa juga
                             1.  Pasal 363 KUHP
                             2.  Pasal 285 KUHP

-   Gabungan   : Apabila pelaku melakukan beberapa tindak pidana yang salah satu tindakan tersebut ada yang diatur dalam beberapa pasal yang sejenis dan tindakan yang lainnya merupakan satu tindak pidana yang diatur oleh beberapa pasal yang unsur-unsurnya hampir sama, persangkaan ini merupakan gabungan dari persangkaan alternatif dan kumulatif, dalam persidangan perkara ini ada pasal-pasal yang harus dibuktikan semuanya dan ada pasal-pasal yang terbukti saja yang dibuktikan. Contohnya seorang preman dengan kekerasan menggunakan sanjata tajam menerima uang dari pedagang keliling setelah dianiaya oleh preman tersebut pedagang itu meninggal dunia, pada saat ditangkap didapati preman tersebut sedang membawa narkotika jenis shabu-shabu, penulisan pasalnya adalah :
                            1.   Primer pasal 340 KUHP, subsider pasal 338 KUHP, lebih subsider pasal 351 ayat (3)
                            2.   Pasal pasal 338 KUHP atau pasal 365 KUHP
                            3.   Pasal 112 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia nomor 
                                  35 tahun 2009 tentang narkotika
                            4.   Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Darurat tahun 1951 

Kamis, 07 Juni 2012

Pengantar Hukum Indonesia



I.HUKUM DALAM ARTI TATA HUKUM
1.1.Pengertian   Tata Hukum dan Tata Hukum Indonesia
1.1.1.Pengertian Tata Hukum.
1.1.2.Pengertian Tata Hukum Indonesia.
1.1.3.Pengertian Sejarah Tata Hukum.
1.1.4.Pengertian Politik Hukum.

1.2.Tujuan Mempelajari Tata Hukum Indonesia
1.1.PENGERTIAN TATA HUKUM & TATA HUKUM INDONESIA

1.1.1.Pengertian Tata Hukum :
Tata Hukum adalah susunan hukum yang berasal mula dari istilah recht orde.  Susunan hukum terdiri atas aturan-aturan yg tertata sedemikian rupa shg orang mudah menemukannya bila suatu ketika ia membutuhkannya untuk menyelesaikan peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat
Setiap aturan saling berhubungan dan saling menentukan.
Tata hukum berlaku dalam suatu masyarakat karena disahkan oleh pemerintah masyarakat itu, jika masyarakat itu adalah masyarakat negara, maka yg mengesahkan tata hukumnya adlalah penguasa negara itu.

Tata hukum yg sah dan berlaku pd wkt tertentu dan di negara.tertentu disebut HUKUM POSITIF (IUS CONSTITUTUM)

Sedangkan tata hukum yg diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang disebut IUS CONSTITUENDUM.

IUS CONSTITUENDUM dapat menjadi IUS CONSTITUTUM dan IUS CONSTITUTUM dapat hapus diganti IUS CONSTITUTUM baru yg disesuaikan dg kebutuhan masyarakat yang senantiasa berkembang.

1.1.2.Pengertian Tata Hukum Indonesia
Tata Hukum suatu negara adalah Tata Hukum yang ditetapkan atau disahkan oleh negara itu.
Jadi Tata Hukum Indonesia adalah tata hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, yang terdiri atas aturan-aturan hukum yang ditata atau disusun sedemikian rupa serta antara satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling menentukan.

Suatu Tata Hk yg selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan masyarakat (dinamis) ditempat mana Tata Hukum itu berlaku, demi untuk memenuhi perasaan keadilan berdasarkan Kesadaran Hukum Masyarakat
Hal tersebut diatas disebut juga Tata Hukum yang mempunyai Struktur Terbuka.

-       Pencatatan atau penulisan peristiwa penting tentang Perubahan Tata Hukum dalam suatu negara agar diingat dan difahami oleh bangsa di negara yang bersangkutan,dinamakan  “SEJARAH HUKUM”.

-      Dengan demikian, Sejarah Tata Hukum Indonesia memuat kejadian-kejadian penting mengenai Tata Hukum Indoneisa pada masa lalu yang dicatat serta harus difahami oleh bangsa Indonesia.


1.1.4.Pengertian Politik Hukum
Politik Hukum adalah pernyataan kehendak dari pemerintah negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan ke arah mana hukum itu akan dikembangkan.

Dengan demikian Politik Hukum Indonesia  adalah pernyataan kehendak dari pemerintah negara Indonesi tentang hukum yang berlaku atau akan berlaku di Indonesia dan ke arah mana hukum itu akan dikembangkan.

Tentang ke arah mana hukum di Indonesia akan dikembangkan menurut GBHN (dahulu), sekarang RENSTRA (Rencana Strategis), secara tegas dinyatakan : bahwa pembangunan dan pembinaan hukum di Indonesia.ialah dengan mengadakan KODIFIKASI dan UNIFIKASI hukum di bidang-bidang hukum tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat dan perkembangannya.

II.TUJUAN MEMPELAJARI TATA HUKUM INDONESIA
-      Mempelajari Tata Hukum negara tertentu berarti mempelajari keseluruhan peraturan yang berlaku di negara itu atau mempelajari Hukum Positif negara itu.  Begitu juga jika kita mempelajari Tata Hukum Indonesia berarti kita mempelajari Hukum Positif Indonesia.

Tujuan Mempelajari Tata Hukum Indonesia:
  1. Untuk mengetahui seluruh peraturan yang   mengatur tata kehidupan negara & masyakat .Indonesia.
  2. Untuk mengetahui dalam kerangka Hukum Positif Indonesia tentang perbuatan-perbuatan mana yang melanggar hukum dan yang mana menurut hukum.
  3. Untuk mengetahui kedudukan, hak & kewajibannya dalam masyarakat.

II.SEJARAH TATA HUKUM INDONESIA. & POLITIK HUKUM INDONESIA.
II.1.PRA-KEMERDEKAAN :
II.1.1.Masa Vereenigde Oost Indische  Compagnie (1602-1799).
II.1.2.Masa Besluiten Regerings (1814-1855).
II.1.3.Masa Regerings Reglement (1855-1926).
II.1.4.Masa Indische Staatsregeling (1926-1942).
II.1.5.Masa Jepang (Osamu Seirei/1942-1945).

II.2.PASCA-KEMERDEKAAN :
II.2.1.Masa 1945-1949 (18.8.45-26.12.49).
II.2.2.Masa 1949-1950 (27.12.49-16.8.50).
II.2.3.Masa 1950-1959 (17.8.50-4.7.59).
II.2.4.Masa 1959-Sekarang (5.7.59-kini).

II.1.PRA-KEMERDEKAAN
II.1.1.Masa V.O.C (1602 – 1799) :
-    VOC diberi hak istimewa ol Pemerintah Belanda yang disebut dengan Hak Octrooi, hak ini  meliputi 
Monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang.
-    Konsekuensi atas hak tersebut, VOC memperluas daerah jajahan, pemaksaan penerapan aturan kepada pribumi.
-  Selanjutnya pemerintah Belanda menunjuk Gubernur Jenderal. PIETER BOTH yang diberiwewenang untuk membuat peraturan, memutus perkara perdata dan pidana.
-    Tahun.1642,VOC menerbitkan STATUTA BATAVIA yaitu kumpulan peraturan-peraturan yang pernah dibuat oleh Gubernur Jenderal PIETER BOTH sejak th.1602.
-      Pada  tahun.1766,VOC menerbitkan STATUTA BATAVIA BARU, yang berlaku sebagai hukum positif baik untuk pribumi maupun pendatang, tetapi pada masa ini juga kaedah-kaedah Hukum Adat Indonesia tetap diberlakukan bagi Bumi Putera.

KESIMPULAN :
Bahwa pada masa VOC (bubar 31 Des 1799), Tata Hukum yang berlaku terdiri atas aturan-aturan yang berasal dari Negeri Belanda, aturan-aturan yang dibuat oleh.Gubernur Jenderal yang berkuasa, serta aturan-aturan (tertulis & tidak tertulis) bagi orang-orang pribumi yaitu Hukum Adatnya masing-masing.

II.1.2.Masa BESLUITEN REGERINGS (1814 – 1855).
-      Raja berkuasa secara mutlak & tertinggi atas daerah-daerah jajahan, termasuk membuat peraturan yg berlaku umum yang disebut dengan ALGEMENE VERORDENING (Peraturan Pusat), berupa Keputusan Raja (KONINKLIJK BESLUIT) dalam bidang Legislatif & Eksekutif;
-      Para Komisaris Jenderal yang diangkat Raja, tetap menjalankan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris berkuasa;
-     Tahun 1830, Pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasi Hukum Perdata, yang berlaku pada tanggal 1 Oktober 1938, tetapi di Hindia Belanda baru berlaku pada tangga.1 Mei 1848.


KESIMPULAN :
Bahwa tata hukum pada masa BESLUITEN REGERINGS terdiri dari Peraturan-peraturan Tertulis yg dikodifikasi; Peraturan-peraturan Tertulis yang tidak dikodifikasi; serta Peraturan-peraturan tidak tertulis (Hukum Adat untuk golongan pribumi.
 
II.1.3.MASA REGERINGS REGLEMENT (1855 – 1926).
-      Jika pada masa sebelumnya raja diberi kekuasaan mutlak (Monarki Konstitusional), maka pd masa ini berubah menjadi Monarki Konstitusional Parlementer (raja membuat peraturan bersama-sama degan Parlemen);
-      Diantaranya mereka mengatur tata hukum tentang penyelesaian perkara perdata yaitu untuk menggunakan hukum Perdata Eropa bagi golongan Eropa dan Hukum Perdata Adat bagi golongan Pribumi;
-      Pada th.1920, terjadi perubahan pada pasal-pasal  REGERINGS REGLEMENT, yaitu pada pasal .75 REGERINGS REGLEMENT, membagi tiga golongan penduduk (Golongan Eropa; golongan Timur asing; golongan Bumi Putera).


KESIMPULAN :
Pada masa REGERINGS REGLEMENT telah berhasil diundangkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (WETBOEK VAN STRAFRECHT), yang berlaku sejak 1 Januari 1918.










Undang-undang RI nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP


KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Bab I Ketentuan Umum
Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang
Bab III Dasar Peradilan
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu : Penyelidik dan Penyidik
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kedua : Penyidik Pembantu
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Ketiga : Penuntut Umum
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kesatu :Penangkapan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kedua : Penahanan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Ketiga : Penggeledahan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Keempat : Penyitaan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kelima : Pemeriksaan Surat
Bab VI Tersangka dan Terdakwa
Bab VII Bantuan Hukum
Bab VIII Berita Acara
Bab IX Sumpah atau Janji
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kesatu : Praperadilan
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kedua : Pengadilan Negeri
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Ketiga : Pengadilan Tinggi
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Keempat : Mahkamah Agung
Bab XI Koneksitas
Bab XII Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kesatu : Ganti Kerugian
Bab XII Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kedua : Rehabilitasi
Bab XIII Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian
Bab XIV Penyidikan Bagian Kesatu : Penyelidikan
Bab XIV Penyidikan Bagian Kedua : Penyidikan
Bab XV Penuntutan
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kesatu : Panggilan dan Dakwaan
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kedua : Memutus Sengketa
Mengenai     Wewenang Mengadili
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketiga : Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keempat : Pembuktian dan Putusan
Dalam Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kelima : Acara Pemeriksaan Biasa 
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keenam : Acara Pemeriksaan Cepat
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketujuh : Pelbagai Ketentuan
Bab XVII Upaya Hukum Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Banding
Bab XVII Upaya Hukum Bagian Kedua : Pemeriksaan Untuk KasasiBab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Kasasi
Demi Kepentingan Hukum
Bab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kedua : Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan
Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap
Bab XIX Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XX Pengawasan Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XXI Ketentuan Peralihan
Bab XXII Ketentuan Penutup
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan: 
1.Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan.
2.Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
3.Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena
diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam
undang-undang ini.
4.Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
5.Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
6.a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b.Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
7.Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan. 8.Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili.
9.Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan
memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
10.Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: 
a.sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
11.Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala
tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
12.Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak
terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.
13.Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau
berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum. 
14.Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
15.Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan.
16.Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
peradilan.
17. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat
tinggal dan tempat tertutup Iainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau
penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.
18.Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan
badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada
badannya atau dibawanya serta, untuk disita. 
19.Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan
tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan,
atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga
keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa
ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
20.Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini. 
21.Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
22.Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya
yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.
23.Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
24.Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau
kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah
atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. 
25.Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum
seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. 
26.Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri. 
27.Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.
28.Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan.
29. Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 30.Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu
atau hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. 
31.Satu hari adalah dua puluh empat jam dan satu bulan adalah waktu tiga puluh hari. 
32.Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
Pasal 2
Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan
peradilan umum pada semua tingkat peradilan. 
 
BAB III
DASAR PERADILAN
Pasal 3
Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 
BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian Kesatu
Penyelidik dan Penyidik
Pasal 4
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.
Pasal 5
(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4: a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang : 
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti; 
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat; 
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana
tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.
Pasal 6
(1) Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang. 
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur Iebih lanjut
dalam peraturan pemerintah.
Pasal 7
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya
mempunyai wewenang :
a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; 
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; 
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang
sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik
wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. 
Pasal 8
(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam PasaI 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.
(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan: 
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. 
Pasal 9
Penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a mempunyai
wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya di seluruh wilayah Indonesia,
khususnya di daerah hukum masing-masing di mana ia diangkat sesuai dengan ketentuan
undang-undang. 
 
BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian Kedua
Penyidik Pembantu
Pasal 10
(1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat
oleh Kepala kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat
(2) pasal ini. 
(2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 11Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali
mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. 
Pasal 12
Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik,
kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada
penuntut umum. 
BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian Ketiga
Penuntut Umum
Pasal 13
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 
Pasal 14
Penuntut umum mempunyai wewenang:
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu;
b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk
dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; 
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik; 
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum; i. mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut ketentuan undang-undang ini; 
j. melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 15
Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut
ketentuan undang-undang. 
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kesatu
Penangkapan
Pasal 16
(1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan
penangkapan. 
(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan
penangkapan. 
Pasal 17
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 
Pasal 18
(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik
Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan
penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia
diperiksa. 
(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dulakukan tanpa surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang
ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat. 
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. 
Pasal 19(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama
satu hari. 
(2) Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia
telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan
yang sah. 
BAB V
PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN DAN
PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kedua
Penahanan
Pasal 20
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan. 
(2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan. 
(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya
berwenang melakukan penahanan. 
Pasal 21
(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam
hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. 
(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap
tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim
yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan
serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia
ditahan. 
(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya. 
(4)Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak
pidana tersebut dalam hal: 
a.tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;  b.tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal
335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a,
Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undangundang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran
terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931
Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi
(Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8),
Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang
Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37,
Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086). 
Pasal 22
(1) Jenis penahanan dapat berupa:
a.penahanan rumah tahanan negara;
b.penahanan rumah;
c.penahanan kota. 
(2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka
atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala
sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan. 
(3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediamati tersangka atau
terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor din pada waktu yang
ditentukan. 
(4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dan pidana yang
dijatuhkan. 
(5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima darijumlah lamanya waktu
penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah Iamanya waktu
penahanan. 
Pasal 23
(1) Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan
yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. 
(2) Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari
penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada
tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang benkepentingan. 
Pasal 24
(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
hanya berlaku paling lama dua puluh hari.  (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperIukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang
untuk paling lama empat puluh hari. 
(3) Ketentuan sebagamana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. 
(4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka
dan tahanan demi hukum. 
Pasal 25
(1) Penintah penahanan yang dibenikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua pulub hari. 
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang
berwenang untuk paling lama tiga puluh hari. 
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. 
(4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan
tersangka dari tahanan demi hukum. 
Pasal 26
(1) Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84,
guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk
paling lama tiga puluh hari. 
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang
bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari. 
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. 
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum. 
Pasal 27
(1) Hakim pengadilan tinggi yang mengadii perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87,
guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
untuk paling lama tiga puluh hari.  (2) Jangka waktu sebagaimatia tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua peiigadilan tinggi yang
bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari. 
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. 
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum. 
Pasal 28
(1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88,
guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
untuk paling lama lima puluh hari. 
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk
paling lama enam puluh hari. 
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. 
(4) Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum. 
Pasal 29
(1) Dikecualikan dan jangka waktu penahanan sebagahnana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25,
Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap
tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat
dihindarkan karena: 
a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang
dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau 
b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau
lebih. 
(2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam
hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh
hari. 
(3) Perpanjangan penahanan tersebut átas dasar permintaan dan Iaporan pemeriksaan dalam
tingkat: 
a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri; b. pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oIeh ketua pengadilan tinggi;
c. pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung; 
d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(4)Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3)
dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tauggung jawab. 
(5)Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya
tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi. 
(6)Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau
belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. 
(7)Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat
mengajukan keberatan dalam tingkat: 
a.penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b.pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah
Agung. 
Pasal 30
Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,
Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 29
ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan
ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96. 
Pasal 31
(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim,
sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan
dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. 
(2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat
mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Ketiga Penggeledahan
Pasal 32
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam
undang-undang ini. 
Pasal 33
(1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan
dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan. 
(2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara
Republik Indonesia dapat memasuki rumah. 
(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka
atau penghuni menyetujuinya. 
(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan
dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir. 
(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu
berita acara dati turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang
bersangkutan. 
Pasal 34
(1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan: 
a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dari yang ada
di atasnya; 
b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; 
c. di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; di tempat penginapan dan
tempat umum lainnya 
(2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik
tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak
merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda
yang berhubungan dengan tindik pidana yang bersangkutan atau yang diduga telab
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan
kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. 
Pasal 35
Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:  a.ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 
b.tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan; 
c.ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan. 
Pasal 36
Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan
tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus
diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di
mana penggeledahan itu dilakukan. 
Pasal 37
(1)Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian
termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang
cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita. 
(2)Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau
menggeledah badan tersangka. 
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Keempat
Penyitaan
Pasal 38
(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri
setempat. 
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi
ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk
itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya. 
Pasal 39
(1)Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:  a.benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana; 
b.benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya; 
c.benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; 
d.benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; 
e.benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan. 
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga
disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang
memenuhi ketentuan ayat (1). 
Pasal 4O
Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang
patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat
dipakai sebagai barang bukti. 
Pasal 41
Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang
pengangkutavnya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan
atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut
diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal danpadanya dan untuk itu kepada tersangka
dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi
atau pengangkutan yang bersaugkutan, harus diberikan surat tanda penenimaan. 
Pasal 42
(1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat
disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada
yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan. 
(2) Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika
surat atau tulisan itu berasal dan tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau
kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakah alat untuk
melakukan tindak pidana. 
Pasal 43
Penyitaan surat atau tulisan lain dan mereka yang berkewajiban menurut undang-undang
untuk merahasiakannya, sepanjang tidak rnenyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan
atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeni setempat kecuali
undang-undang menentukan lain.  Pasal 44
(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara. 
(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab
atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga. 
Pasal 45
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang
membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap
perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan
benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau
kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut: 
a.apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut
dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan
disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;  
b.apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat
diamankan atau dijual yang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan
perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya. 
(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti. 
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dan benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi
kepentingan negara atau untuk dimusnahkan. 
Pasal 46
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan
siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila: 
a.kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; 
b.perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak
merupakan tindak pidana;
c.perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut
ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau
yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. 
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut
putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagal
barang bukti dalam perkara lain. 
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kelima
Pemeriksaan Surat
Pasal 47
(1) Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor
pos dan teIekomunikasi, jawatan atau pcrusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda
tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana
yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan
negeri. 
(2) Untuk kepentingan tersebut. penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk
menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda
penerimaan. 
(3) Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, dapat dilakukan pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat
tersebut. 
Pasal 48
(1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan
perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara. 
(2) Apabila sesudab diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara
tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan
telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi
cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta
identitas penyidik. 
(3) Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang
dikembalikan itu. 
Pasal 49
(1) Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
dan Pasal 75.  (2) Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kaiitor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang
bersangkutan. 
BAB VI
TERSANGKA DAN TERDAKWA
Pasal 50
(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat
diajukan kepada penuntut umum. 
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. 
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
Pasal 51
Untuk rnempersiapkan pembelaan:
a. tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai, 
b. terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang didakwakan kepadanya 
Pasal 52
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. 
Pasal 53 
(1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa
berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 177. 
(2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagainiana
dimaksud dalam Pasal 178. 
Pasal 54
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari
seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan,
menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.  Pasal 55
Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa
berhak memiih sendiri penasihat hukumnya. 
Pasal 56
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak
mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. 
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. 
Pasal 57
(1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat
hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. 
(2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak
menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses
perkaranya. 
Pasal 58
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak meng hubungi dan menerima
kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya
dengan proses perkara maupun tidak. 
Pasal 59
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang
penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau
terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk
mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya. 
Pasal 60
Tersangka atau terdakwá berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang
mempunyai hubungán kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna
mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan
bantuan hukum. 
Pasal 61
Tersangka atau terdakwa berhak secara Iangsung atau dengan perantaraan penasihat
hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau
untuk kepentingan kekeluargaan. 
Pasal 62
(1) Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan
menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan
olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis. 
(2) Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak
keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan
negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu
disalahgunakan. 
(3) Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa ditilik atau diperiksa oleh penyidik, penuntut
umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka atau
terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang
berbunyi "telah ditilik".
Pasal 63
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan. 
Pasal 64
Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.  
Pasal 65
Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan diri mengajukan saksi dan atau
seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan
bagi dirinya. 
Pasal 66
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Pasal 67
Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan
tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara
cepat. 
Pasal 68
Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 95. BAB VII
BANTUAN HUKUM
Pasal 69
Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada
semua tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini. 
Pasal 70
(1) Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan
berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk
kepentingan pembelaan perkaranya. 
(2) Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam
pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut
umum atau petugas lembaga pemasyarakatan memberi peringatan kepada penasihat hukum. 
(3) Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh pejabat
yang tersebut pada ayat (2). 
(4) Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan tersebut
disaksikan oleh pejabat tersebut pada ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar maka
hubungan selanjutnya dilarang. 
Pasal 71
(1) Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan dengan
tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan
tanpa mendengar isi pembicaraan. 
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut pada ayat (1) dapat
mendengar isi pembicaraan. 
Pasal 72 
Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan
turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pernbelaannya. 
Pasal 73
Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dan tersangka setiap kali dikehendaki
olehnya. 
Pasal 74Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka sebagaimana
tersebut pada Pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 71 dilarang, setelah perkara
dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan, yang
tembusan suratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain
dalam proses. 
BAB VIII
BERITA ACARA
Pasal 75
(1) Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a.pemeriksaan tersangka;
b.penangkapan;
c.penahanan;
d.penggeledahan;
e.pemasukan rumah;
f.penyitaan benda;
g.pemeriksaan surat;
h.pemeriksaan saksi;
l.pemeriksaan di tempat kejadian;
j.pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan; 
k.pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut
pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan. 
(3) Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2)
ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalath tindakan tersebut pada ayat (1). 
BAB IX
SUMPAH ATAU JANJI Pasal 76
(1) Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya
pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan perundangundangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun mengenai
tatacaranya. 
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah
atau janji tersebut batal menurut hukum. 
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian Kesatu
Praperadilan
Pasal 77
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini tentang: 
a.sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan; 
b.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 
Pasal 78
(1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
adalah praperadilan. 
(2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan
dibantu oleh seorang panitera. 
Pasal 79
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan
diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya. 
Pasal 80
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan
kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.  Pasal 81
Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebut alasannya. 
Pasal 82
(1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal
80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: 
a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk
menetapkan hari sidang; 
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknyapenangkapan atau
penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan
ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan,
akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita
yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka
atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang; 
c. perneriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim
harus sudah menjatuhkan putusannya; 
d. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan
pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka
permintaan tersebut gugur; 
e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk
mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut
umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru. 
(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan
alasannya. 
(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat
hal sebagai berikut 
a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak
sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masingmasing harus segera membebaskan tersangka; 
b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau
penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan; 
c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak
sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi
yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan
rehabilitasinya; 
d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk
alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus
segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita. 
(4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
dan Pasal 95. 
Pasal 83
(1)Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal
80, dan Pasal 81 tidal dapat dimintakan banding. 
(2)Dikecualikan dan ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan
akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian Kedua
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian Ketiga
Pengadilan Tinggi
Pasal 87
Pengadilan tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam
daerah hukumnya yang dimintakan banding.
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI Bagian Keempat
Mahkamah Agung
Pasal 88
Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.
BAB XI
KONEKSITAS
Pasal 89
(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk Iingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
Iingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan
Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu
tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai
dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan
perkara pidana. 
(3) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama
Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman. 
Pasal 90
(1) Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan
dalam Iingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi
dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal
89 ayat (2). 
(2) Pendapat dan penelitian bersama tersebut dituangkan dalam. berita acara yang
ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Jika dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang
berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi
kepada Jaksa Agung dan oleh oditur militer atau oditur militer tinggi kepada Oditur Jenideral
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. 
Pasal 91
(1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik berat kerugian
yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka
perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang
diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum, untuk
dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang.  
(2) Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat sebagaimaña dimaksud dalam
Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
untuk mengusulkan kepada Menteri Pertahan dan Keamanan, agar dengan persetujuan
Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang
menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer.
(3) Surat keputusan tersebut pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira penyerah perkara dan
jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada mahkamah militer atau
mahkamah militer tinggi.
Pasal 92
(1) Apabila perkara diajukan kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 ayat (1), maka berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi catatan oleh penuntut umum yang mengajukan perkara,
bahwa berita acara tersebut telah diambil alih olehnya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur militer atau oditur
militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan kepada pengadilan dalam Iingkungan
peradilan militer. 
Pasal 93
(1) Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) terdapat
perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur militer tinggi, mereka
masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara tertulis, dengan disertai
berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada Jaksa Agung dan kepada
Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(2) Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bermusyawarah
untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(3) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang menentukan.
Pasal 94
(1) Dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan militer, yang
mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga
orang hakim. (2) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari
lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan
umum dan peradilan militer secara berimbang. 
(3) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana
tersebut pada Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari Iingkungan
peradilan militer dan hakim anggota secara berimbang dari masing-masing lingkungan
peradilan militer dan dari peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler. 
(4) Ketentuan tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan tingkat banding.
(5) Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbal balik
mengusulkan pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4) dan hakim perwira sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4). 
BAB XII
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
Bagian Kesatu
Ganti Kerugian
Pasal 95
(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap,
ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau
penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalarn ayat
(1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77. 
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka,
terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kapada pengadilan yang berwenang mengadili perkara
yang bersangkutan. 
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1)
ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara
pidana yang bersangkutan. 
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara
praperadilan. 
Pasal 96(1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan Iengkap semua hal
yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.
BAB XII
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
Bagian Kedua
Rehabilitasi
Pasal 97
(1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. 
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 
(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77. 
BAB XIII
PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN GANTI KERUGIAN
Pasal 98
(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara
pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua
sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan
ganti kerugian kepada perkara pidana itu. 
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambatlambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum
tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. 
Pasal 99
(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan
tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut. 
(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan
hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan
oleh pihak yang dirugikan. 
(3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap apabila
putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap. 
Pasal 100
(1) Apabila teriadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka
penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding. 
(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka
permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan. 
Ketentuan dan aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang
dalam undang-undang ini tidak diatur. 
Pasal 101
Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang
dalam undang-undang ini tidak diatur lain. 
BAB XIV
PENYIDIKAN
Bagian Kesatu
Penyelidikan
Pasal 102
(1) Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan
penyelidikan yang diperlukan. 
(2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera
melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada
Pasal 5 ayat (1) huruf b. 
(3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib
membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum. 
Pasal 103(1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor
atau pengadu. 
(2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik. 
Pasal 104
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya. 
Pasal 105
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk
oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a. 
BAB XIV
PENYIDIKAN
Bagian Kedua
Penyidikan 
Pasal 106
Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan
penyidikan yang diperlukan. 
Pasal 107
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan
petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan
penyidikan yang diperlukan. 
(2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam
penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti
yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a. 
(3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik
tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a. 
Pasal 108
(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa
yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada
penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.  (2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib
seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik. 
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang
terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada
penyelidik atau penyidik. 
(4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor
atau pengadu. 
(5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik. 
(6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan
surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan. 
Pasal 109
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan
tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. 
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi
hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan
kepada penyidik dan penuntut umum.
Pasal 110
(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih
kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik
disertai petunjuk untuk dilengkapi.
(3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik
wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum
tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir
telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
Pasal 111(1) Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang
mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib,
menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik
atau penyidik. 
(2) Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyelidik
atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan. 
(3) Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat
kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di
situ belum selesai.
(4) Pelanggar Iarangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan
dimaksud di atas selesai. 
Pasal 112
(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara
jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan
surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara
diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik
memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya. 
Pasal 113
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa
ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke
tempat kediamannya. 
Pasal 114
Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan
oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan
bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
Pasal 115
(1) Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka penasihat hukum
dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan. 
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum dapat hadir dengan cara
melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka 
Pasal 116
(1) Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga
bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan. (2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain
dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya. 
(3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang
dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.
(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan
memeriksa saksi tersebut. 
Pasal 117
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa
pun dan atau dalam bentuk apapun. 
(2) Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan
sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam
berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri.
Pasal 118
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh
penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda tangannya, penyidik
mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 119
Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau
bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan, pemeriksaan
terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman
atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut. 
Pasal 120
(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang
memiliki keahlian khusus.
(2) AhIi tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan
memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan
karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan
rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal 121
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal
dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan
keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan
atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau benda serta segala sesuatu
yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara. Pasal 122
Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan
dan harus mulai diperiksa oleh penyidik.
Pasal 123
(I) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan
atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu.
(2) Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan
tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis penahanan
tertentu.
(3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik,
tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik.
(4) Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan
mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada
dalam jenis tahanan tertentu.
(5) Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut di atas dapat
mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat.
Pasal 124
DaIam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga
atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat untuk
diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri tersangka
tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini. 
PasaI 125
Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda
pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam PasaI 33 dan Pasal 34. 
Pasal 126
(1) Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dari hasil penggeledahan rumah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5). 
(2) Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada
yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun
tersangka atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang
saksi.
(3) Dalam haI tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal itu
dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya Pasal 127
(1) Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan
penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan.
(2) Dalam hal ini penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidak
meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung. 
Pasal 128
Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya
kepada orang dari mana benda itu disita. 
Pasal 129
(1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan
disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu
dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua Iingkungan dengan dua orang saksi.
(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang
darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh
penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan
dua orang saksi. 
(3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan
tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya. 
(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari
mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa. 
Pasal 130
(1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masingmasing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana
benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi hak dan cap jabatan dan ditandatangani
oleh penyidik.
(2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada
benda tersebut. 
Pasal 131
(1) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat
diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, penyidik
segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau
kitab, daftar dan sebagainya dan jika perlu menyitanya. 
(2) Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 129
undang-undang ini. Pasal 132
(1) Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau
diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat
dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.
(2) Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik
dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta kepada
pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang
disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan perbandingan. 
(3) Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak
dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 131, penyidik dapat minta
supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan
kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan.
(4) Dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menjadi bagian dari suatu
daftar, penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya sampai surat yang asli diterima
kembali yang dibagian bawah dari salinan itu penyimpan mencatat apa sebab salinan itu dibuat.
(5) Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat
permintaan, tanpa alasan yang sah, penyidik berwenang mengambilnya. 
(6) Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini dibebankan pada dan
sebagai biaya perkara.
Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya. 
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi
label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu
jari kaki atau bagian lain badan mayat. 
Pasal 134
(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya
tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.  (3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang
diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini. 
Pasal 135
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat,
dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2) dan pasal
134 ayat (1) undang-undang ini. 
Pasal 136
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Bagian Kedua Bab 14 ditanggung oleh negara.
BAB XV
PENUNTUTAN
Pasal 137
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke
pengadilan yang berwenang mengadili. 
Pasal 138
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dan penyidik segera mempelajari dan
menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil
penyidikan itu sudah lengkap atau belum. 
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi
dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. 
Pasal 139
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari
penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk
dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. 
Pasal 140
(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.  (2) a.Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. 
    b.Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib
segera dibebaskan. 
    c.Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau
penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. 
    d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap tersangka 
Pasal 141
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat
dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa
berkas perkara dalam hal: 
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan
pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; 
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; 
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan
tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini
penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. 
Pasal 142
Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak
pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan
Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa
secara terpisah. 
(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar
segera mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. 
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta
berisi: 
a.nama Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; 
b.uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan termpat tindak pidana itu dilakukan. 
(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf b batal demi hukum.  (4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka
atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan. dengan
penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri. 
Pasal 144
(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari
sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan
penuntutannya. 
(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya
tujuh hari sebelum sidang dirnulai. 
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada
tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. 
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Kesatu
Panggilan dan Dakwaan
Pasal 145
(1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan Secara sah, apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau
apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir. 
(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau ditempat kediaman terakhir, surat
panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa
atau tempat kediaman terakhir. 
(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui
pejabat rumah tahanan negara. 
(4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orarig lain atau melalui
orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan. 
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan
ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili
perkaranya. 
Pasal 146
(1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal,
hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang
bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.  (2) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari
serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang
bersangkutan selambat-Iambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai. 
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Kedua
Memutus Sengketa mengenai Wewenang Mengadili
Pasal 147
Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua
mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya. 
Pasal 148
(1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara pidana itu tidak termasuk
wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ia
menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap
berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang memuat alasannya. 
(2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum selanjutnya
kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada kejaksaan negeri di tempat
pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan. 
(3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disarnpaikan kepada
terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik. 
Pasal 149
(1) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka: 
a.Ia mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan dalam waktu
tujuh hari setelah penetapan tersebut diterima; 
b.tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut di atas mengakibatkan batalnya
perlawanan; 
c. perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 148 dan hal itu dicatat dalam buku daftar panitera; 
d. dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan perlawanan tersebut
kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan.  (2) Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari setelah menerima perlawanan
tersebut dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan surat penetapan. 
(3) Dalam hal pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum, maka dengan surat
penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan untuk menyidangkan
perkara tersebut. 
(4) Jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri, pengadilan tinggi
mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada pengadilan negeri yang bcrsangkutan. 
(5) Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan
ayat (4) disampaikan kepada penuntut umum. 
Pasal 150
Sengketa tentang wewenang mengadili terjadi: 
a.jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara
yang sama; 
b.jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara
yang sama. 
Pasal 151
(1) Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang mengadili antara dua pengadilan negeri
atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya. 
(2) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang
wewenang mengadili: 
a.antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan pengadilan dari lingkungan
peradilan yang lain; 
b.antara dua pengadilan negeri yang berkedudukan dalam daerah hukum pengadilan
tinggi yang berlainan; 
c.antara dua pengadilan tinggi atau lebih. 
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Ketiga
Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 152(1) Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa
perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan
menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang. 
(2) Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang
di sidang pengadilan. 
Pasal 153
(1) Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan bersidang. 
(2) a.Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara
lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi; 
    b.Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang
mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas. 
(3) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan
terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. 
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan
demi hukum. 
(5) Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh
belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang. 
Pasal 154
(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam
tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas. 
(2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang
yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara
sah. 
(3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang rnenunda persidangan dan
memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya. 
(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan
yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang
memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. 
(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir
pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. 
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah
setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang
pertama berikutnya.  (7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang. 
Pasal 155
(1) Pada permulaan sidang. hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama
Iengkap. tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaannya sertta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala
sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang. 
(2)a.Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat
dakwaan; 
    b.Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benarbenar mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan
hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan. 
Pasal 156
(1) Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak
berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus
dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan
pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil
keputusan. 
(2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa
lebih .lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru
dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. 
(3) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan tersebut, maka Ia dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang
bersangkutan. 
(4) Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima oleh
pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat
penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri
yang berwenang untuk memeriksa perkara itu. 
(5) a. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh
terdakwa atau penasihat hukumnya kepada pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas
hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan terdakwa, pengadilan tinggi
dengan keputusan membátalkan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan dan menunjuk
pengadilan negeri yang berwenang; 
    b.Pengadilan tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada pengadilan negeri
yang berwenang dan kepada pengadilan negeri yang semula mengadili perkara yang
bersangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang
telah melimpahkan perkara itu. 
(6) Apabila pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) berkedudukan
di daerah hukum pengadilan tinggi lain maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara tersebut kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri yang berwenang di tempat
itu. 
(7) Hakim ketua sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah
mdndengar pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan surat penetapan yang memuat
alasannya dapat menyatakán pengadilan tidak berwenang. 
Pasal 157
(1) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara tertentu apabila ia terikat
hubungan keluarga sedarah atau Semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau isteri
meskipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah seorang hakim anggota, penuntut
umum atau panitera. 
(2) Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau panitera wajib mengundurkan diri
dari menangani perkara apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semeñda sampai
derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan terdakwa atau
dengan penasihat hukum. 
(3) Jika dipenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) mereka yang mengundurkan diri harus diganti
dan apabila tidak dipenuhi atau tidak diganti sedangkan perkara telah diputus, maka perkara
wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain. 
Pasal 158
Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang
keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa. 
Pasal 159
(1) Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir
dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang
lain sebelum memberi keterangan di sidang. 
(2) Dalam hal saksi tidák hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang
mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim
ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan. 
Pasal 160
(1)a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang
dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut
umum, terdakwa atau penasihat hukum; 
    b.Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi; 
    c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa
yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau
penasihat hukum atau penuntut umum selamĂŁ berIangsungnya sidang atau sebelum
dijatuhkannya putusán, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.  (2) Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan,
selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi
dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat
keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri terdakwa meskipun sudah
bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya. 
(3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak
lain daripada yang sebenarnya. 
(4) Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji
sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan. 
Pasal 161
(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan
terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat
dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari. 
(2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap
tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. 
Pasal 162
(1) Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena
halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat
kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan
kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan. 
(2) Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu
disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang. 
Pasal 163
Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita
acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan
mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acâra pemeriksaan sidang. 
Pasal 164
(1) Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan
kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut. 
(2) Penuntut umum atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa. 
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau
penasihat hukum kepada saksi atau terdakwa dengan memberikan alasannya.  Pasal 165
(1) Hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat minta kepada saksi segala keterangan yang
dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran. 
(2) Penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang
diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi. 
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum,
terdakwa atau penasihat hukum kepada saksi dengan memberikan alasannya. 
(4) Hakim dan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan
hakim ketua sidang, dapat saling menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan
mereka masing-masing. 
Pasal 166
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak bolèh diajukan baik kepada terdakwa; maupun kepada
saksi 
Pasal 167
(1) Setelah saksi .memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang
memberi izin untuk meninggalkannya. 
(2) Izin itu tidak diberikán jika penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum
mengajukan permintaan supaya saksi itu tetap menghadiri sidang. 
(3) Para saksi selama sidang dilarang saling bercakap-cakap. 
Pasal 168
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya
dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: 
a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sarnpai
derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. 
b. saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagal terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anakanak saudara terdakwa sampal derajat ketiga 
c. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa. 
Pasal 169
(1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut
umum serta tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.  (2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka diperbolehkan
memberikan keterangan tanpa sumpah. 
Pasal 170
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi,
yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. 
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. 
Pasal 171
Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah : 
a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; 
b.orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali. 
Pasal 172
(1) Setelah saksi memberi keterangan maka terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut
umum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang, agar di antara saksi tersebut
yang tidak mereka kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, supaya saksi
lainnya dipanggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar keterangannya, baik seorang
demi seorang maupun bersama-sama tanpa hádirnya saksi yang dikeluarkan tersebut. 
(2) Apabila dipandang perlu hakim karena jabatannya dapat minta supaya saksi yang tèlah
didengar keterangannya ke luar dari ruang sidang untuk selanjutnya mendengar keterangan
saksi yang lain. 
Pasal 173
Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya
terdakwa, untuk itu Ia minta terdakwa ke luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu
pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua
hal pada waktu ia tidĂŁk hadir. 
Pasal 174
(1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan
dengan sungguh -sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan
mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap
memberikan keterangan palsu. 
(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau
atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu
ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.  (3) Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang
yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan
saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta
panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan
undang-undang ini. 
(4) Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai
pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai. 
Pasal 175
Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab, pertanyaan yang diajukan
kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan
dilanjutkan. 
Pasal 176
(1) Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang,
hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan
supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu
itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. 
(2) Dalam hal terdakwa secara terus menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga
mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang mengusahakan upaya sedemikian rupa
sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa. 
Pasal 177
(1) Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk
seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar
semua yang harus diterjemahkan. 
(2) Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara Ia tidak boleh pula
menjadi juru bahasa dalam perkara itu. 
Pasal 178
(1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang
mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. 
(2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang
menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada
terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua
pertanyaan serta jawaban harus dibacakan 
Pasal 179
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakirnan atau dokter
atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.  (2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan
dalam bidang keahliannya. 
Pasal 180
(1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar
diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. 
(2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap
hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim memerintahkan agar hal itu
dilakukan penelitian ulang. 
(3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang
sebagaimana tersebut pada ayat (2). 
(4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi
semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang
untuk itu. 
Pasal 181
(1) Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan
menanyakan kepadañya apakah Ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini. 
(2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi. 
(3) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau
memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta
keterangan seperlunya tentang hal itu. 
Pasal 182
(1) a.Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana; 
    b.Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat
dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu
mendapat giliran terakhir. 
    c.Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah
dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang
berkepentingan. 
(2) Jika acara tersebut pada ayat (1) telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa
pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas
kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum
atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya.  (3) Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan
apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut
umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang. 
(4) Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala
sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. 
(5) Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari
hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan
pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan
beserta alasannya. 
(6) Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat
kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka
berlaku ketentuan sebagai berikut 
a.putusan diambil dengan suara terbanyak; 
b.jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah
pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. 
(7) Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam
buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut
sifatnya rahasia. 
(8) Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada
hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum. 
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Keempat
Pembuktian dan Putusan
Dalam Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 
Pasal 184
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a.keterangan saksi; b.keterangan ahli;
c.surat;
d.petunjuk;
e.keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pasal 185
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. 
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. 
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan
suatu alat bukti yang sah lainnya. 
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu
ada .hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. 
(5) Baik pendapat maupun rekĂ an, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan
keterangan saksi. 
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguhsungguh memperhatikan 
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b .persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang
tertentu; 
d. cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. 
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak
merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang
disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. 
Pasal 186
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. 
Pasal 187Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah: 
a.berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; 
b.surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan; 
c.surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya; 
d.surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain. 
Pasal 188
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari ; 
a.keterangan saksi;
b. surat;
c.keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. 
Pasal 189
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang
ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. 
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. 
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain.  Pasal 190
a. Selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditahan, pengadilan dapat
memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan terdakwa apabila dipenuhi
ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu. 
b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya
untuk membebaskan terdakwaa jika terdapat alasan cukup untuk itu dengan mengingat
ketentuan Pasal 30. 
Pasal 191
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa
atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
terdakwa dakwa diputus bebas. 
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa terbukti,
tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari
segala tuntutan hukum. 
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam
status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain
yang sah terdakwa perlu ditahan. 
Pasal 192
(1) Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (3)
segera dilaksanakan oleh jaksa sesudah putusan diucapkan. 
(2) Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri surat penglepasan,
disampaikan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu
tiga kali dua puluh empat jam. 
Pasal 193
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. 
(2) a.Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat
memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dasi
terdapat alasan cukup untuk itu. 
b.Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan
terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup
untuk itu. 
Pasal 194
(1) Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika
menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara
atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. 
(2) Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti
diserahkan segera sesudah sidang selesai. 
(3) Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai sesuatu syarat apapun kecuali
dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap. 
Pasal 195
Semua putusan pengadilan. hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di
sidang terbuka untuk umum. 
Pasal 196
(1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang
ini menentukan lain. 
(2) Dalam hal terdapat Iebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat
diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada. 
(3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib
memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu: 
a. hak segera menerima atau. segera menolak putusan; 
b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan,
dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini; 
c. hak minta menangguhkan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima
putusan; 
d. hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal Ia menolak putusan; 
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang
waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini. 
Pasal 197
(1)Surat putusan pemidanaan memuat: 
a.kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA"; 
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;  c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; 
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa, 
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; 
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan
dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,
disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; 
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa
oleh hakim tunggal; 
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan
yang dijatuhkan; 
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya
yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; 
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya
kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; 
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; 
l.hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan
nama panitera; 
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan I pasal inii
mengakibatkan putusan batal demi hukum. 
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini. 
Pasal 198
(1) Dalam hal seorang hakim atau penuntut umum berhalangan, maka ketua pengadilan atau
pejabat kejaksaan yang berwenang wajib segera menunjuk pengganti pejabat yang
berhalangan tersebut. 
(2) Dalam hal penasihat hukum berhalangan, ia menunjuk penggantinya dan apabila pengganti
ternyata tidak ada atau juga berhalangan, maka sidang berjalan terus. 
Pasal 199
(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat : 
a. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f dan h;  b. pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar putusan; 
c. perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika Ia ditahan. 
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi
pasal ini. 
Pasal 200
Surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan. 
Pasal 201
(1) Dalam hal terdapat surat palsu atau dipalsukan, maka panitera melekatkan petikan putusan
yang ditandatanganinya pada surat tersebut yang memuat keterangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 197 ayat (1) huruf j dan surat palsu atau yang dipalsukan tersebut diberi catatan
dengan menunjuk pada petikan putusan itu. 
(2) Tidak akan diberikan.salinan pertama atau salinan dari surat asli palsu atau yang
dipalsukan kecuali panitera sudah membubuhi catatan pada catatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) disertai dengan salinan petikan putusan. 
Pasal 202
(1) Panitera membuat berita acara sidang dengan memperhatikan persyaratan yang diperlukan
dan memuat segala kejadan di sidang yang berhubungan dengan pemeriksaan itu. 
(2) Berita acara sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat juga hal yang penting
dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli kecuali jika hakim ketua sidang menyatakan bahwa
untuk ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara pemeriksaan dengan menyebut
perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan lainnya. 
(3) Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, hakim ketua sidang
wajib memerintahkan kepada panitera supaya dibuat catatan secara khusus tentang suatu
keadaan atau keterangan. 
(4) Berita acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera kecuali apabila
salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam berita acara tersebut. 
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Kelima
Acara Pemeriksaan Singkat
Pasal 203(I) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau
pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. 
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penuntut umum menghadapkan
terdakwa beserta saksi, ahli, juru babasa dan barang bukti yang diperlukan.
(3) Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga
Bab ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan ketentuan di bawah ini: 
a. 1. penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjawab segala
pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) memberitahukan dengan
lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan
kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak
pidana itu dilakukan;
    2.pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti
surat dakwaan;
b. dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya diadakan pemeriksaan
tambahan dalam waktu paling lama empat belas hari dan bilamana dalam waktu tersebut
penuntut umum belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim
memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa;
c. guna kepentingan. pembelaan, maka atas permintaan terdakwa dan atau penasihat hukum,
hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama tujuh hari; 
d. putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang;
e. hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut;
f. isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan dalam
acara biasa.
Pasal 204
Jika dari pemeriksaan di sidang sesuatu perkara yang diperiksa de.ngan acara singkat ternyata
sifatnya jelas dan ringan, yang seharusnya diperiksa dengan acara cepat, maka hakim dengan
persetujuan terdakwa dapat melanjutkan pemeriksaan tersebut. 
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Keenam
Acara Pemeriksaan Cepat
Paragraf 1
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan Pasal 205
(1) Yang diperiksa rnenurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang
diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda
sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang
ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini. 
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum,
dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa
beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.
(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili
dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana
perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.
Pasal 206
Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara dengan acara
pemeriksaan tindak pidana ringan. 
Pasal 207
(I) a. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari, tanggaI, jam dan
tempat ia harus menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh
penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan. 
b. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang diterima harus segera
disidangkan pada hari sidang itu juga.
(2) a.Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam buku register semua
perkara yang diterimanya. 
b. Dalam buku register dimuat nama Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa serta apa yang
didakwakan kepadanya.
Pasal 208
Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji
kecuali hakim menganggap perlu. 
Pasal 209
(1) Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan seIanjutnya oleh panitera
dicatat dalam buku register serta ditandatangani oleh hakim yang bersangkutan dan panitera.
(2) Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut
ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.  Pasal 210
Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini tetap berlaku
sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf ini. Paragraf 2 Acara
Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan 
Pasal 211
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada Paragraf ini ialah perkara pelanggaran
tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan. 
Pasal 212
Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan, oleh
karena itu catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) huruf a segera diserahkan
kepada pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya.
Pasal 213
Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang. 
Pasal 214
(I) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.
(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera
disampaikan kepada terpidana. 
(3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik kepada terpidana,
diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register.
(4) Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana
perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan
(5) Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia
dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu. 
(6) Dengan perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi gugur.
(7) Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik tentang perlawanan itu hakim
menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara. 
(8) Jika putusan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), terhadap putusan tersebut terdakwa dapat mengajukan banding.
Pasal 215
Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang paling berhak, segera setelah
putusan dijatuhkan jika terpidana telah memenuhi isi amar putusan.  Pasal 216
Ketentuan dalam Pasal 210 tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan
Paragraf ini. 
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Ketujuh
Pelbagai Ketentuan
Pasal 217
(1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan. 
(2)Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di
persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat. 
Pasal 218
(1) Dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.
(2)Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan
tidak mentaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas
perintahnya yang bersangkutan di keluarkan dari ruang sidang. 
(3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu
tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya. 
Pasal 219
(1) Siapa pun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat maupun
benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang membawanya wajib
menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu.
(2) Tanpa surat perintah, petugas keamanan pengadilan karena tugas jabatannya dapat
mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin bahwa kehadiran seorang di ruang
sidang tidak membawa senjata, bahan atau alat maupun benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan apabila terdapat maka petugas mempersilahkan yang bersangkutan untuk
menitipkannya.
(3). Apabila yang bersangkutan bermaksud meninggalkan ruang sidang, maka petugas wajib
menyerahkan kembali benda titipannya.
(4) Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi kemungkinan untuk dilakukan penuntutan
bila ternyata bahwa penguasaan atas benda tersebut bersifat suatu tindak pidana.  Pasal 220
(1) Tiada seorang hakim pun diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri
berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. 
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim yang bersangkutan, wajib
mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan penuntut umum,
terdakwa atau penasihat hukumnya.
(3) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), maka pejabat pengadilan yang berwenang yang menetapkannya. 
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam makna ayat tersebut di atas berlaku juga bagi
penuntut umum. 
Pasal 221
Bila dipandang perlu hakim di sidang atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan
terdakwa atau penasihat hukumnya dapat memberi penjelasan tentang hukum yang berlaku.
Pasal 222
(l) Siapa pun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam hal putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan pada negara.
(2) Dalam hal terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari
pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya
perkara dibebankan pada negara. 
Pasal 223
(1) Jika hakim memberi perintah kepada seorang untuk mengucapkan sumpah atau janji di luar
sidang, hakim dapat menunda pemeriksaan perkara sampai pada hari sidang yang lain.
(2) Dalam hal sumpah atau janji dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim
menunjuk panitera untuk menghadiri pengucapan sumpah atau janji tersebut dan membuat
berita acaranya.
Pasal 224
Semua surat putusan pengadilan disimpan dalam arsip pengadilan yang mengadili perkara itu
pada tingkat pertama dan tidak boleh dipindahkan kecuali undang-undang nienentukan lain.
Pasal 225
(1) Panitera menyelenggarakan buku daftar untuk semua perkara.
(2) Dalam buku daftar itu dicatat nama dan identitas terdakwa, tindak pidana yang didakwakan,
tanggal penerimaan perkara, tanggal terdakwa mulai ditahan apabila ia ada dalam tahanan,
tanggal dan isi putusan secara singkat, tanggal penerimaan permintaan dan putusan banding atau kasasi, tanggal permohonan serta pemberian grasi, amnesti, abolisi atau rehabilitasi, dan
lain hal yang erat hubungannya dengan proses perkara. 
Pasal 226
(1) Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya
segera setelah putusan diucapkan.
(2) Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik,
sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan atas permintaan. 
(3) Salinan surat putusan pengadilan hanya boleh diberikan kepada orang lain dengan seizin
ketua pengadilan setelah mempertimbangkan kepentingan dan permintaan tersebut. 
Pasal 227
(1) Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua
tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga
hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman
mereka terakhir.
(2) Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara
langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima
oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tandatangan, baik oleh petugas
maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak menandatangani maka petugas
harus mencatat alasannya.
(3) Dalam hal orang yang dipanggil tidak terdapat di salah satu termpat sebagaimana
dirnaksud dalam ayat (1), surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau pejabat dan
jika di luar negeri melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat di mana orang yang
dipanggil biasa berdiam dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan, maka surat
panggilan ditempelkan di tempat pengumuman kantor pejabat yang mengeluarkan panggilan
tersebut. 
Pasal 228
Jangka atau tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai diperhitungkan pada hari
berikutnya. 
Pasal 229
(1) Saksi atau ahli yang teIah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan
keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi atau ahli
tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 230 (1) Sidang pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan dalam ruang sidang. 
(2) Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan
pakaian sidang dan atribut masing-masing.
(3) Ruang sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditata menurut ketentuan sebagai
berikut: 
a. tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat penuntut umum, terdakwa,
penasihat hukum dan pengunjung; 
b. tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua sidang; 
c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan tempat hakim; 
d. tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari tempat hakim dan
tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum;
e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat hakim;
f. tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi pemeriksaan;
g. tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah didengar;
h. bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji Pengayoman
ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang Negara ditempatkan pada dinding
bagian atas di belakang meja hakim; 
i. tempat rohaniwan terletak di sebelah kiri tempat panitera; 
j tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i diberi tanda pengenal; 
k. tempat petugas keamanan dibagian pintu masuk utama ruang sidang dan ditempat lain yang
dianggap perlu.
(4) Apabila sidang pengadilan dilangsungkan diluar gedung pengadilan, maka tata tempat
sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan ayat (3) tersebut diatas.
(5) Dalam hal ketentuan ayat (3) tidak mungkin dipenuhi maka sekurang-kurangnya bendera
nasional harus ada.
Pasal 231
(1) Jenis, bentuk dan warna pakaian sidang serta atribut yang berhubungan dengan perangkat
kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 230 ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
peraturan pemerintah. 
(2) Pengaturan lebih lanjut tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 217
ditetapkan dengan keputusan Menteri Kehakiman.  Pasal 232
(1) Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum, penasihat hukum dan pengunjung yang
sudah ada, duduk ditempatnya masing-masing dalam ruang sidang.
(2) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang semua yang hadir berdiri
untuk menghormat.
(3) Selama sidang berlangsung setiap orang yang keluar masuk ruang sidang diwajibkan
memberi hormat. 
BAB XVII
UPAYA HUKUM BIASA
Bagian Kesatu
Pemeriksaan Tingkat Banding
Pasal 233
(1) Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan
tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum. 
(2) Hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) boleh diterima oleh
panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah
putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
196 ayat (2). 
(3) Tentang permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat keterangan yang ditandatangani
olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan kepada pemohon yang
bersangkutan. 
(4) Dalam hal pemohon tidak dapat rnenghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera dengan
disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis dalam
daftar perkara pidana. 
(5) Dalam hal pengadilan negeri menerima permintaan banding, baik yang diajukan oleh
penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa
sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak
yang lain. 
Pasal 234
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 ayat (2) telah lewat
tanpa diajukan permintaan banding oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan
dianggap menenima putusan.  (2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka panitera mencatat dan membuat
akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara. 
Pasal 234
(1) Selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat
dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu
tidak boleh diajukan lagi. 
(2) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus sedangkan sementara itu
pemohon mencabut permintaan bandingnya, maka pemohon dibebani membayar biaya
perkara yang telah dikeluarkan oleh pengadilan tinggi hingga saat pencabutannya. 
Pasal 236
(1) Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari sejak permintaan banding diajukan,
panitera mengirimkan salinan putusan pengadilan negeri dan berkas perkara serta surat bukti
kepada pengadilan tinggi. 
(2) Selama tujuh hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada pengadilan tinggi, pemohon
banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di pengadilan
negeri. 
(3) Dalam hal pemohon banding yang dengan jelas menyatakan secara tertulis bahwa ia akan
mempelajari berkas tersebut di pengadilan tinggi, maka kepadanya wajib diberi kesempatan
untuk itu secepatnya tujuh hari setelah berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi, 
(4) Kepada setiap pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk sewaktu-waktu meneliti
keaslian berkas perkaranya yang sudah ada di pengadilan tinggi. 
Pasal 237
Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding, baik
terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat menyerahkan memori banding atau
kontra memori banding kepada pengadilan tinggi. 
Pasal 238
(1) Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dengan sekurangkurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan negeri
yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dan penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang
pengadilan negeri, beserta semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan
perkara itu dan putusan pengadilan negeri. 
(2) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke pengadilan tinggi sejak saat
diajukannya permintaan banding. 
(3) Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari pengadilan negeri,
pengadilan tinggi wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap
ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.  (4) Jika dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi
atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada
mereka tentang apa yang ingin diketahuinya. 
PasaI 239
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 220 ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat banding. 
(2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) berlaku juga antara
hakim dan atau panitera tingkat banding, dengan hakim atau panitera tingkat pertama yang
telah mengadili perkara yang sama. 
(3) Jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama kemudian tekah menjadi
hakim pada pengadilan tinggi, maka hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama
dalam tingkat banding. 
Pasal 240
(1) Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata
ada kelalaian dalam pénerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap,
maka pengadilan tinggi dengan suatu keputusan dapat memerintahkan pengadilan negeri
untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukannya sendiri. 
(2) Jika perlu pengadilan tinggi dengan keputusan dapat membatalkan penetapan dari
pengadilan negeri sebelum putusan pengadilan tinggi dijatuhkan. 
Pasal 241
(1) Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas
dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan atau
mengubah atau dalam hal membatalkan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi
mengadakan putusan sendiri. 
(2) Dalam hal pembatalan tersebut terjadi atas putusan pengadilan negeri karena ia tidak
berwenang memeriksa perkara itu, maka berlaku ketentuan tersebut pada Pasal 148. 
Pasal 242
Jika dalam pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu ada dalam tahanan, maka
pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya terdakwa perlu tetap ditahan atau
dibebaskan. 
Pasal 243
(1) Salinan surat putusan pengadilan tinggi beserta berkas perkara dalam waktu tujuh hari
setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan negeri yang memutus pada
tingkat pertama.  (2) Isi surat putusan setelah dicatat dalam buku register segera diberitahukan kepada terdakwa
dan penuntut umum oleh panitera pengadilan negeri dan selanjutnya pemberitahuan tersebut
dicatat dalam salinan surat putusan pengadilan tinggi. 
(3) Ketentuan mengenai putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226
berlaku juga bagi putusan pengadilan tinggi. 
(4) Dalam hal terdakwa bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan negeri tersebut,
panitera minta bantuan kepada panitera pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya
terdakwa bertempat tinggal untuk memberitahukan isi surat putusan itu kepadanya. 
(5) Dalam hal terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau bertempat tinggal di luar negeri,
maka isi surat putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan melalui kepala
desa atau pejabat atau melalui perwakilan Republik Indonesia, di mana terdakwa biasa
berdiam dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan, terdakwa dipanggil dua kali
berturut-turut melalui dua buah surat kabar yang terbit dalam daerah hukum pengadilan negeri
itu sendiri atau daerah yang berdekatan dengan daerah itu.
BAB XVI
UPAYA HUKUM BIASA
Bagian Kedua
Pemeriksaan Untuk Kasasi
Pasal 244
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain
selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. 
Pasal 245
(1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah
memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa. 
(2) Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang
ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada
berkas perkara. 
(3) Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh
penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa
sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak
yang lain. 
Pasal 246(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat
tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan
dianggap menerima putusan. 
(2) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). pemohon terlambat
mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu gugur. 
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2), maka panitera mencatat
dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara. 
Pasal 247
(1) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan
kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam
perkara itu tidak dapat diajukan lagi. 
(2) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas
tersebut tidak jadi dikirimkan. 
(3) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu
pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya
perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya. 
(4) Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali.
Pasal 248
(1) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan
kasasinya dan dalam waktu empat belas hari setelah mengajukan permohonan tersebut, harus
sudah menyerahkannya kepada panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda terima. 
(2) Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera pada
waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan
permohonan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya. 
(3) Alasan yang tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 253 ayat (1) undang-undang ini. 
(4) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon terlambat
menyerahkan memori kasasi maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur. 
(5) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 246 ayat (3) berlaku juga untuk ayat (4) pasal
ini. 
(6) Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh panitera disampaikan
kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi. 
(7) Dalam tenggang waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1), panitera menyampaikan
tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori kasasi.  Pasal 249
(1) Dalam hal salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan dalam
memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya diberikati kesempatan untuk
mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248
ayat (1). 
(2) Tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas diserahkan kepada panitera
pengadilan. 
(3) Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari setelah tenggang waktu tersebut dalam
ayat (1), permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan segera
disampaikan kepada Mahkamah Agung. 
Pasal 250
(1) Setelah panitera pengadilan negeri menerima memori dan atau kontra memori
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) dan ayat (4), Ia wajib segera mengirim
berkas perkara kepada Mahkamah Agung. 
(2) Setelah panitera Mahkamah Agung menerima berkas perkara tersebut ia seketika
mencatatnya dalam buku agenda surat, buku register perkara dan pada kartu penunjuk. 
(3) Buku register perkara tersebut pada ayat (2) wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani
oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga karena jabatannya
oleh Ketua Mahkamah Agung. 
(4) Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, maka penandatanganan dilakukan oleh
WakiI Ketua Mahkamah Agung dan jika keduanya berhalangan maka dengan surat keputusan
Ketua Mahkamah Agung ditunjuk hakim anggota yang tertua dalam jabatan. 
(5) Selanjutnya panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat bukti penerimaan yang aslinya
dikirimkan kepada panitera pengadilan negeri yang bersangkutan, sedangkan kepada para
pihak dikirimkan tembusannya. 
Pasal 251
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 157 berlaku juga bagi perneriksaan perkara
dalam tingkat kasasi. 
(2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) berlaku juga antara
hakim dan atau panitera tingkat kasasi dengan hakim dan atau panitera tingkat banding serta
tingkat pertama. yang telah mengadili perkara yang sama. 
(3) Jika seorang hakim yang mengadili perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding,
kemudian telah menjadi hakim atau panitera pada Mahkamah Agung, mereka dilarang
bertindak sebagai hakim atau panitera untuk perkara yang sama dalam tingkat kasasi. 
Pasal 252(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 220 ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi
pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi. 
(2) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal Sebagaimana tersebut pada
ayat (1), maka dalam tingkat kasasi:  
a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai pejabat yang berwenang
menetapkan; 
b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang berwenang menetapkannya
adalah suatu panitia yang terdiri dari tiga orang yang dipilih oleh dan antar hakim anggota yang
seorang diantaranya harus hakim anggota yang tertua dalam jabatan. 
Pasal 253
(1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para
pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan 
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana
mestinya; 
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; 
c. apakab benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
(2) Pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan dengan sekurang-kurangnya
tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain dari pada
Mahkamah Agung, yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara
pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara
itu beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat terakhir. 
(3) Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1),
Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut
umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa
yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk mendengar keterangan mereka, dengan cara
pemanggilan yang sama. 
(4) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Agung sejak diajukannya
permohonan kasasi. 
(5) a. Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara kasasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) Mahkamah Agung Wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa
perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan
terdakwa. 
b. Dalam hal terdakwa tetap ditahan, maka dalam waktu empat belas hari, sejak penetapan
penahanan Mahkarnah Agung wajib memeriksa perkara tersebut. 
Pasal 254Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245, Pasal 246 dan Pasal 247, mengenai
hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi. 
Pasal 255
(1) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut. 
(2) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan
yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang
dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara
tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain. 
(3) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan
tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau
hakim lain mengadili perkara tersebut. 
Pasal 266
Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
254, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam
hal itu berlaku ketentuan Pasal 255. 
Pasal 257
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 226 dan Pasal 243 berlaku juga bagi putusan
kasasi Mahkamah Agung, kecuali tenggang waktu tentang pengiriman salinan putusan beserta
berkas perkaranya kepada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama dalam waktu tujuh
hari. 
Pasal 258
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 244 sampal dengan Pasal 257 berlaku bagi
acara permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. 
BAB XVIII
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
Bagian Kesatu
Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Pasal 259(1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali
permohonan kasasi oleh Jaksa Agung. 
(2) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. 
Pasal 260
(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis oleh Jaksa
Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang telah memutus perkara
dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu. 
(2) Salinan risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh panitera segera disampaikan
kepada pihak yang berkepentingan. 
(3) Ketua pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan permintaan itu kepada
Mahkamah Agung. 
Pasal 261
(1) Salinan putusan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan
kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan dengan disertai berkas
perkara. 
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2) dan ayat (4) berlaku juga
dalam hal ini. 
Pasal 262
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259, Pasal 260, dan Pasal 261 berlaku bagi
acara permohonan kasasi demi kepentingan hukum terhadap putusan pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer. 
BAB XVIII
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
Bagian Kedua
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan
Yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Pasal 263
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. 
(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas
atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; 
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan
tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; 
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata. 
(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan
peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. 
Pasal 264
(1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263
ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat
pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya. 
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan
peninjauan kembali. 
(3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu. 
(4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum,
panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah
alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat
permintaan peninjauan kembali. 
(5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas
perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan. 
Pasal 265
(1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula
yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan
kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2). 
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir
dan dapat menyampaikan pendapatnya. 
(3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh
hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara
pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.  (4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas
perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah
Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa. 
(5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan
banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara
pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang
bersangkutan. 
Pasal 266
(1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
tersebut pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan
peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya 
(2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat
diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut: 
a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak
permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan
peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya; 
b. apabila Mahkarnah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan
putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa: 
1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
(3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana
yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. 
Pasal 267
(1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya
dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang
melanjutkan permintaan peninjauan kembali. 
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)
berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali. 
Pasal 268
(1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun
menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.  (2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan
sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan
kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya. 
(3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. 
PasaI 269
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi
acara permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer. 
BAB XIX
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 270
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan
oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengrimkan salinan surat putusan kepadanya. 
Pasal 271
Dalam hal pidana mati pelaksanaannya dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan
undang-undang. 
Pasal 272
Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis
sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturutturut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu. 
Pasal 273
(1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka
waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan
cepat yang harus seketika dilunasi. 
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat
diperpanjang untuk paling lama satu bulan. 
(3) Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara,
selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut
kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya
dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.  (4) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk paling lama
satu bulan. 
Pasal 274
Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tatacara putusan perdata. 
Pasal 275
Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan atau ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 274 dibebankan kepada mereka bersama-sama
secara berimbang. 
Pasal 276
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, maka pelaksanaannya dilakukan dengan
pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undangundang.
BAB XX
PENGAWASAN DAN PENGAMATAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 277
(1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua
dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang
menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. 
(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan
pengamat, ditunjuk oleh ketua petigadilan untuk paling lama dua tahun. 
Pasal 278
Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang
ditandatangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan
yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register
pengawasan dan pengamatan. 
Pasal 279
Register pengawasan dan pengamatan sebagaimana tersebut pada Pasal 278 wajib
dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui
ditandatangani juga oleh hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277. 
Pasal 280(1) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian
bahwa .putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. 
(2) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi
ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau
pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal-balik terhadap narapidana selama
menjalani pidananya. 
(3) Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tetap dilaksanakan setelah terpidana
selesai menjalani pidananya. 
(4) Pengawas dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 berlaku pula bagi
pemidanaan bersyarat. 
Pasal 281
Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan
menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana
tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut. 
PasaI 282
Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat
dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan
narapidana tertentu. 
Pasal 283
Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim pengawas dan pengamat kepada
ketua pengadilan secara berkala. 
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 284
(1) Terhadap perkara yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan, sejauh mungkin
diberlakukan ketentuan undang-undang ini. 
(2) Dalam waktu dua tahun setelah undang undang ini diundangkan maka terhadap semua
perkara diberlakukan ketentuan undang undang ini, dengan pengecualian untuk sementara
mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu,
sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.  BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 285
Undang-undang ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 
Pasal 286
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 
 
Disahkan di Jakarta 
pada tanggal 31 Desember 1981 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
 
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO,SH
 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 76