KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA
(KUHAP)
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981
Bab I Ketentuan Umum
Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang
Bab III Dasar Peradilan
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu : Penyelidik
dan Penyidik
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kedua : Penyidik
Pembantu
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Ketiga : Penuntut
Umum
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan
Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kesatu :Penangkapan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan
Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kedua : Penahanan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan
Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Ketiga :
Penggeledahan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan
Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Keempat : Penyitaan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan
Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kelima : Pemeriksaan
Surat
Bab VI Tersangka dan Terdakwa
Bab VII Bantuan Hukum
Bab VIII Berita Acara
Bab IX Sumpah atau Janji
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kesatu :
Praperadilan
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kedua :
Pengadilan Negeri
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Ketiga :
Pengadilan Tinggi
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Keempat :
Mahkamah Agung
Bab XI Koneksitas
Bab XII Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kesatu :
Ganti Kerugian
Bab XII Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kedua :
Rehabilitasi
Bab XIII Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian
Bab XIV Penyidikan Bagian Kesatu : Penyelidikan
Bab XIV Penyidikan Bagian Kedua : Penyidikan
Bab XV Penuntutan
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kesatu :
Panggilan dan Dakwaan
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kedua :
Memutus Sengketa
Mengenai Wewenang
Mengadili
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketiga :
Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keempat :
Pembuktian dan Putusan
Dalam Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kelima :
Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keenam :
Acara Pemeriksaan Cepat
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketujuh :
Pelbagai Ketentuan
Bab XVII Upaya Hukum Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat
Banding
Bab XVII Upaya Hukum Bagian Kedua : Pemeriksaan Untuk
KasasiBab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat
Kasasi
Demi Kepentingan Hukum
Bab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kedua : Peninjauan
Kembali Putusan Pengadilan
Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap
Bab XIX Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XX Pengawasan Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XXI Ketentuan Peralihan
Bab XXII Ketentuan Penutup
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan:
1.Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia
atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk
melakukan penyidikan.
2.Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan
tersangkanya.
3.Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara
Republik Indonesia yang karena
diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan
yang diatur dalam
undang-undang ini.
4.Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia
yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
5.Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
6.a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b.Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
7.Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di
sidang pengadilan. 8.Hakim adalah pejabat peradilan negara
yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili.
9.Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa, dan
memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan
tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
10.Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk
memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini,
tentang:
a.sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan
atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka;
b.sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan.
11.Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan
dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dan segala
tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
12.Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau
kasasi atau hak
terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali
dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.
13.Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang
ditentukan oleh atau
berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
14.Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana.
15.Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut,
diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan.
16.Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud
atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan
peradilan.
17. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk
memasuki rumah tempat
tinggal dan tempat tertutup Iainnya untuk melakukan tindakan
pemeriksaan dan atau
penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam
undang-undang.
18.Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk
mengadakan pemeriksaan
badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang
diduga keras ada pada
badannya atau dibawanya serta, untuk disita.
19.Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu
sedang melakukan
tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat
tindak pidana itu dilakukan,
atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai
orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda
yang diduga
keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu
yang menunjukkan bahwa
ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu
melakukan tindak pidana itu.
20.Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat
cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan
dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.
21.Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di
tempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,
dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
22.Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan
atas tuntutannya
yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang
ini.
23.Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan
hanya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang
diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap,
ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam
undang-undang ini.
24.Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh
seorang karena hak atau
kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang
berwenang tentang telah
atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa
pidana.
25.Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh
pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak
menurut hukum
seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang
merugikannya.
26.Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar
sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri.
27.Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang
ia dengar sendiri, Ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan
pengetahuannya itu.
28.Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan.
29. Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang anak tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan
pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini. 30.Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah
sampai derajat tertentu
atau hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam
suatu proses pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
31.Satu hari adalah dua puluh empat jam dan satu bulan
adalah waktu tiga puluh hari.
32.Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan
putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
Pasal 2
Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara
peradilan dalam lingkungan
peradilan umum pada semua tingkat peradilan.
BAB III
DASAR PERADILAN
Pasal 3
Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian Kesatu
Penyelidik dan Penyidik
Pasal 4
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik
Indonesia.
Pasal 5
(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4: a. Karena
kewajibannya mempunyai wewenang :
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang
adanya tindak
pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa
tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan
dan
penyitaan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil
pelaksanaan tindakan sebagaimana
tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.
Pasal 6
(1) Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undangundang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) akan diatur Iebih lanjut
dalam peraturan pemerintah.
Pasal 7
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf a karena kewajibannya
mempunyai wewenang :
a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang
adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan
perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf b mempunyai wewenang
sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan penyidik tersebut dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2), penyidik
wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Pasal 8
(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan
tindakan sebagaimana dimaksud
dalam PasaI 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam
undang-undang ini.
(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut
umum.
(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dilakukan:
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas
perkara;
b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik
menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut
umum.
Pasal 9
Penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf a mempunyai
wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya di
seluruh wilayah Indonesia,
khususnya di daerah hukum masing-masing di mana ia diangkat
sesuai dengan ketentuan
undang-undang.
BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian Kedua
Penyidik Pembantu
Pasal 10
(1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara
Republik Indonesia yang diangkat
oleh Kepala kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan
syarat kepangkatan dalam ayat
(2) pasal ini.
(2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur
dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 11Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti
tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali
mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan
wewenang dari penyidik.
Pasal 12
Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan
berkas perkara kepada penyidik,
kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat
langsung diserahkan kepada
penuntut umum.
BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian Ketiga
Penuntut Umum
Pasal 13
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undangundang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 14
Penuntut umum mempunyai wewenang:
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik
pembantu;
b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),
dengan memberi petunjuk
dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan
lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh
penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum; i. mengadakan
tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j. melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 15
Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi
dalam daerah hukumnya menurut
ketentuan undang-undang.
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN
RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kesatu
Penangkapan
Pasal 16
(1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah
penyidik berwenang melakukan
penangkapan.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik
pembantu berwenang melakukan
penangkapan.
Pasal 17
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga
keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas
kepolisian negara Republik
Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan
kepada tersangka surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka
dan menyebutkan alasan
penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan serta tempat ia
diperiksa.
(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dulakukan tanpa
surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan
tertangkap beserta barang bukti yang
ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang
terdekat.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus
diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan
dilakukan.
Pasal 19(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
dapat dilakukan untuk paling lama
satu hari.
(2) Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan
penangkapan kecuali dalam hal ia
telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak
memenuhi panggilan itu tanpa alasan
yang sah.
BAB V
PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN
DAN
PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kedua
Penahanan
Pasal 20
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik
pembantu atas perintah penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan
penahanan.
(2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang
melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan.
(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan
dengan penetapannya
berwenang melakukan penahanan.
Pasal 21
(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan
terhadap seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup, dalam
hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan
atau mengulangi tindak pidana.
(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh
penyidik atau penuntut umum terhadap
tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah
penahanan atau penetapan hakim
yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan
menyebutkan alasan penahanan
serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan
atau didakwakan serta tempat ia
ditahan.
(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan
lanjutan atau penetapan hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada
keluarganya.
(4)Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap
tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian
bantuan dalam tindak
pidana tersebut dalam hal:
a.tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun
atau lebih; b.tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal
335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal
372, Pasal 378, Pasal 379 a,
Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan
Pasal 506 Kitab Undangundang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26
Rechtenordonnantie (pelanggaran
terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan
Staatsblad Tahun 1931
Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang
Tindak Pidana Imigrasi
(Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara
Tahun 1955 Nomor 8),
Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47,
dan Pasal 48 Undangundang
Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun
1976 Nomor 37,
Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).
Pasal 22
(1) Jenis penahanan dapat berupa:
a.penahanan rumah tahanan negara;
b.penahanan rumah;
c.penahanan kota.
(2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal
atau rumah kediaman tersangka
atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk
menghindarkan segala
sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan,
penuntutan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan.
(3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau
tempat kediamati tersangka atau
terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa
melapor din pada waktu yang
ditentukan.
(4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan
seluruhnya dan pidana yang
dijatuhkan.
(5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima
darijumlah lamanya waktu
penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari
jumlah Iamanya waktu
penahanan.
Pasal 23
(1) Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk
mengalihkan jenis penahanan
yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri
dengan surat perintah dari
penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang
tembusannya diberikan kepada
tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada
instansi yang benkepentingan.
Pasal 24
(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
hanya berlaku paling lama dua puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada
ayat (1) apabila diperIukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh
penuntut umum yang berwenang
untuk paling lama empat puluh hari.
(3) Ketentuan sebagamana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus
sudah mengeluarkan tersangka
dan tahanan demi hukum.
Pasal 25
(1) Penintah penahanan yang dibenikan oleh penuntut umum
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua pulub hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila
diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh
ketua pengadilan negeri yang
berwenang untuk paling lama tiga puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum
harus sudah mengeluarkan
tersangka dari tahanan demi hukum.
Pasal 26
(1) Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84,
guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat
perintah penahanan untuk
paling lama tiga puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila
diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh
ketua pengadilan negeri yang
bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara
tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.
Pasal 27
(1) Hakim pengadilan tinggi yang mengadii perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87,
guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan
surat perintah penahanan
untuk paling lama tiga puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimatia tersebut pada
ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh
ketua peiigadilan tinggi yang
bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dan tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara
tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.
Pasal 28
(1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88,
guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan
surat perintah penahanan
untuk paling lama lima puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila
diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh
Ketua Mahkamah Agung untuk
paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara
tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.
Pasal 29
(1) Dikecualikan dan jangka waktu penahanan sebagahnana
tersebut pada Pasal 24, Pasal 25,
Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan
pemeriksaan, penahanan terhadap
tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan
yang patut dan tidak dapat
dihindarkan karena:
a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau
mental yang berat, yang
dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana
penjara sembilan tahun atau
lebih.
(2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling
lama tiga puluh hari dan dalam
hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang
lagi untuk paling lama tiga puluh
hari.
(3) Perpanjangan penahanan tersebut átas dasar permintaan
dan Iaporan pemeriksaan dalam
tingkat:
a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan
negeri; b. pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oIeh ketua pengadilan
tinggi;
c. pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung;
d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(4)Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat
tersebut pada ayat (3)
dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tauggung
jawab.
(5)Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak
menutup kemungkinan dikeluarkannya
tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
(6)Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut
belum selesai diperiksa atau
belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan
dari tahanan demi hukum.
(7)Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2)
tersangka atau terdakwa dapat
mengajukan keberatan dalam tingkat:
a.penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b.pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding
kepada Ketua Mahkamah
Agung.
Pasal 30
Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada
Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,
Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan
sebagaimana tersebut pada Pasal 29
ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta
ganti kerugian sesuai dengan
ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.
Pasal 31
(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau
penuntut umum atau hakim,
sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan
penangguhan penahanan
dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang,
berdasarkan syarat yang ditentukan.
(2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim
sewaktu-waktu dapat
mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau
terdakwa melanggar syarat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN
RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Ketiga Penggeledahan
Pasal 32
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan
penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata
cara yang ditentukan dalam
undang-undang ini.
Pasal 33
(1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik
dalam melakukan penyidikan
dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.
(2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari
penyidik, petugas kepolisian negara
Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua
orang saksi dalam hal tersangka
atau penghuni menyetujuinya.
(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala
desa atau ketua lingkungan
dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni
menolak atau tidak hadir.
(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau
menggeledah rumah, harus dibuat suatu
berita acara dati turunannya disampaikan kepada pemilik atau
penghuni rumah yang
bersangkutan.
Pasal 34
(1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana
penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin
terlebih dahulu, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat
melakukan penggeledahan:
a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam
atau ada dari yang ada
di atasnya;
b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal,
berdiam atau ada;
c. di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;
di tempat penginapan dan
tempat umum lainnya
(2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti
dimaksud dalam ayat (1) penyidik
tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan
tulisan lain yang tidak
merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang
bersangkutan, kecuali benda
yang berhubungan dengan tindik pidana yang bersangkutan atau
yang diduga telab
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan
untuk itu wajib segera melaporkan
kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya.
Pasal 35
Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak
diperkenankan memasuki: a.ruang di mana
sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b.tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara
keagamaan;
c.ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan.
Pasal 36
Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di
luar daerah hukumnya, dengan
tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka
penggeledahan tersebut harus
diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh
penyidik dari daerah hukum di
mana penggeledahan itu dilakukan.
Pasal 37
(1)Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya
berwenang menggeledah pakaian
termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan
keras dengan alasan yang
cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang
dapat disita.
(2)Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang
menggeledah pakaian dan atau
menggeledah badan tersangka.
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN
RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Keempat
Penyitaan
Pasal 38
(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan
surat izin ketua pengadilan negeri
setempat.
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana
penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin
terlebih dahulu, tanpa mengurangi
ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya
atas benda bergerak dan untuk
itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri
setempat guna memperoleh
persetujuannya.
Pasal 39
(1)Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a.benda atau tagihan tersangka atau terdakwa
yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak
pidana;
b.benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk
melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya;
c.benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi
penyidikan tindak pidana;
d.benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan
tindak pidana;
e.benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak
pidana yang
dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata
atau karena pailit dapat juga
disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan
mengadili perkara pidana, sepanjang
memenuhi ketentuan ayat (1).
Pasal 4O
Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan
alat yang ternyata atau yang
patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana atau benda lain yang dapat
dipakai sebagai barang bukti.
Pasal 41
Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket
atau surat atau benda yang
pengangkutavnya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos
dan telekomunikasi, jawatan
atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang
paket, surat atau benda tersebut
diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal danpadanya
dan untuk itu kepada tersangka
dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi,
jawatan atau perusahaan komunikasi
atau pengangkutan yang bersaugkutan, harus diberikan surat
tanda penenimaan.
Pasal 42
(1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang
menguasai benda yang dapat
disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk
kepentingan pemeriksaan dan kepada
yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda
penerimaan.
(2) Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk
diserahkan kepada penyidik jika
surat atau tulisan itu berasal dan tersangka atau terdakwa
atau ditujukan kepadanya atau
kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda
tersebut merupakah alat untuk
melakukan tindak pidana.
Pasal 43
Penyitaan surat atau tulisan lain dan mereka yang
berkewajiban menurut undang-undang
untuk merahasiakannya, sepanjang tidak rnenyangkut rahasia
negara, hanya dapat dilakukan
atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua
pengadilan negeni setempat kecuali
undang-undang menentukan lain. Pasal 44
(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda
sitaan negara.
(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya dan tanggung jawab
atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan
tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan
oleh siapapun juga.
Pasal 45
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat
lekas rusak atau yang
membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai
putusan pengadilan terhadap
perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap
atau jika biaya penyimpanan
benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin
dengan persetujuan tersangka atau
kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a.apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut
umum, benda tersebut
dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau
penuntut umum, dengan
disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
b.apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda
tersebut dapat
diamankan atau dijual yang oleh penuntut umum atas izin
hakim yang menyidangkan
perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa
uang dipakai sebagai barang bukti.
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan
sebagian kecil dan benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk
diedarkan, tidak termasuk
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas
untuk dipergunakan bagi
kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
Pasal 46
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang
atau kepada mereka dan
siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka
yang paling berhak apabila:
a.kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan
lagi;
b.perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup
bukti atau ternyata tidak
merupakan tindak pidana;
c.perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum
atau perkara tersebut
ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan
suatu tindak pidana atau
yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan
penyitaan dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan
tersebut kecuali jika menurut
putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk
dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau
jika benda tersebut masih diperlukan sebagal
barang bukti dalam perkara lain.
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN
RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kelima
Pemeriksaan Surat
Pasal 47
(1) Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat
lain yang dikirim melalui kantor
pos dan teIekomunikasi, jawatan atau pcrusahaan komunikasi
atau pengangkutan jika benda
tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai
hubungan dengan perkara pidana
yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan
untuk itu dari ketua pengadilan
negeri.
(2) Untuk kepentingan tersebut. penyidik dapat meminta
kepada kepala kantor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi
atau pengangkutan lain untuk
menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu
harus diberikan surat tanda
penerimaan.
(3) Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
pasal ini, dapat dilakukan pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut
ketentuan yang diatur dalam ayat
tersebut.
Pasal 48
(1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa
surat itu ada hubungannya dengan
perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan
pada berkas perkara.
(2) Apabila sesudab diperiksa ternyata surat itu tidak ada
hubungannya dengan perkara
tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan
kembali kepada kantor pos dan
telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan lain setelah dibubuhi
cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik"
dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta
identitas penyidik.
(3) Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib
merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah
jabatan isi surat yang
dikembalikan itu.
Pasal 49
(1) Penyidik membuat berita acara tentang tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
dan Pasal 75. (2)
Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kaiitor
pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi
atau pengangkutan yang
bersangkutan.
BAB VI
TERSANGKA DAN TERDAKWA
Pasal 50
(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh
penyidik dan selanjutnya dapat
diajukan kepada penuntut umum.
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke
pengadilan oleh penuntut umum.
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
Pasal 51
Untuk rnempersiapkan pembelaan:
a. tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam
bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
pemeriksaan dimulai,
b. terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam
bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang didakwakan kepadanya
Pasal 52
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,
tersangka atau terdakwa berhak
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau
hakim.
Pasal 53
(1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan
pengadilan, tersangka atau terdakwa
berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 177.
(2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli
diberlakukan ketentuan sebagainiana
dimaksud dalam Pasal 178.
Pasal 54
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari
seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan
pada setiap tingkat pemeriksaan,
menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang
ini. Pasal 55
Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54,
tersangka atau terdakwa
berhak memiih sendiri penasihat hukumnya.
Pasal 56
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas
tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima
tahun atau lebih yang tidak
mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan
pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat
hukum bagi mereka.
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
Pasal 57
(1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak
menghubungi penasihat
hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
(2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang
dikenakan penahanan berhak
menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam
menghadapi proses
perkaranya.
Pasal 58
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak meng
hubungi dan menerima
kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik
yang ada hubungannya
dengan proses perkara maupun tidak.
Pasal 59
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak
diberitahukan tentang
penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang pada
semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang
serumah dengan tersangka atau
terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh
tersangka atau terdakwa untuk
mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi
penangguhannya.
Pasal 60
Tersangka atau terdakwá berhak menghubungi dan menerima
kunjungan dari pihak yang
mempunyai hubungán kekeluargaan atau lainnya dengan
tersangka atau terdakwa guna
mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk
usaha mendapatkan
bantuan hukum.
Pasal 61
Tersangka atau terdakwa berhak secara Iangsung atau dengan
perantaraan penasihat
hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak
keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau
terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau
untuk kepentingan kekeluargaan.
Pasal 62
(1) Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada
penasihat hukumnya, dan
menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga
setiap kali yang diperlukan
olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa
disediakan alat tulis menulis.
(2) Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan
penasihat hukumnya atau sanak
keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum,
hakim atau pejabat rumah tahanan
negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa
surat menyurat itu
disalahgunakan.
(3) Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa ditilik
atau diperiksa oleh penyidik, penuntut
umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara, hal itu
diberitahukan kepada tersangka atau
terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada
pengirimnya setelah dibubuhi cap yang
berbunyi "telah ditilik".
Pasal 63
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima
kunjungan dari rohaniwan.
Pasal 64
Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang
terbuka untuk umum.
Pasal 65
Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan diri
mengajukan saksi dan atau
seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan
keterangan yang menguntungkan
bagi dirinya.
Pasal 66
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Pasal 67
Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding
terhadap putusan pengadilan
tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari
segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan
putusan pengadilan dalam acara
cepat.
Pasal 68
Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan
rehabilitasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 95. BAB VII
BANTUAN HUKUM
Pasal 69
Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat
ditangkap atau ditahan pada
semua tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang ditentukan
dalam undang-undang ini.
Pasal 70
(1) Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
berhak menghubungi dan
berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan
dan setiap waktu untuk
kepentingan pembelaan perkaranya.
(2) Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut
menyalahgunakan haknya dalam
pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat
pemeriksaan, penyidik, penuntut
umum atau petugas lembaga pemasyarakatan memberi peringatan
kepada penasihat hukum.
(3) Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, maka
hubungan tersebut diawasi oleh pejabat
yang tersebut pada ayat (2).
(4) Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan,
maka hubungan tersebut
disaksikan oleh pejabat tersebut pada ayat (2) dan apabila
setelah itu tetap dilanggar maka
hubungan selanjutnya dilarang.
Pasal 71
(1) Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan,
dalam berhubungan dengan
tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas
lembaga pemasyarakatan
tanpa mendengar isi pembicaraan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat
tersebut pada ayat (1) dapat
mendengar isi pembicaraan.
Pasal 72
Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat
yang bersangkutan memberikan
turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan
pernbelaannya.
Pasal 73
Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dan tersangka
setiap kali dikehendaki
olehnya.
Pasal 74Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat
hukum dan tersangka sebagaimana
tersebut pada Pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan
Pasal 71 dilarang, setelah perkara
dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri
untuk disidangkan, yang
tembusan suratnya disampaikan kepada tersangka atau
penasihat hukumnya serta pihak lain
dalam proses.
BAB VIII
BERITA ACARA
Pasal 75
(1) Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a.pemeriksaan tersangka;
b.penangkapan;
c.penahanan;
d.penggeledahan;
e.pemasukan rumah;
f.penyitaan benda;
g.pemeriksaan surat;
h.pemeriksaan saksi;
l.pemeriksaan di tempat kejadian;
j.pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;
k.pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam
undang-undang ini.
(2) Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam
melakukan tindakan tersebut
pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.
(3) Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat
tersebut pada ayat (2)
ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalath
tindakan tersebut pada ayat (1).
BAB IX
SUMPAH ATAU JANJI Pasal 76
(1) Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang
ini diharuskan adanya
pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut
dipakai peraturan perundangundangan tentang sumpah atau janji yang berlaku,
baik mengenai isinya maupun mengenai
tatacaranya.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak dipenuhi, maka sumpah
atau janji tersebut batal menurut hukum.
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian Kesatu
Praperadilan
Pasal 77
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus,
sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang
perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pasal 78
(1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77
adalah praperadilan.
(2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk
oleh ketua pengadilan negeri dan
dibantu oleh seorang panitera.
Pasal 79
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan
diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua
pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.
Pasal 80
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan
kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan
alasannya. Pasal 81
Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak
sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan diajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan
menyebut alasannya.
Pasal 82
(1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79, Pasal
80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:
a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan,
hakim yang ditunjuk
menetapkan hari sidang;
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau
tidaknyapenangkapan atau
penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penuntutan; permintaan
ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan,
akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada
benda yang disita
yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar
keterangan baik dan tersangka
atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang;
c. perneriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan
selambat-lambatnya tujuh hari hakim
harus sudah menjatuhkan putusannya;
d. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh
pengadilan negeri sedangkan
pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum
selesai, maka
permintaan tersebut gugur;
e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak
menutup kemungkinan untuk
mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat
pemeriksaan oleh penuntut
umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan
mengenai hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat
dengan jelas dasar dan
alasannya.
(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) juga memuat
hal sebagai berikut
a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan
atau penahanan tidak
sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat
pemeriksaan masingmasing harus segera membebaskan tersangka;
b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian
penyidikan atau
penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap
tersangka wajib dilanjutkan;
c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak
sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti
kerugian dan rehabilitasi
yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka
dalam putusan dicantumkan
rehabilitasinya;
d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada
yang tidak termasuk
alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda
tersebut harus
segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda
itu disita.
(4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
dan Pasal 95.
Pasal 83
(1)Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79, Pasal
80, dan Pasal 81 tidal dapat dimintakan banding.
(2)Dikecualikan dan ketentuan ayat (1) adalah putusan
praperadilan yang menetapkan tidak
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu
dapat dimintakan putusan
akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang
bersangkutan.
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian Kedua
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian Ketiga
Pengadilan Tinggi
Pasal 87
Pengadilan tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus
oleh pengadilan negeri dalam
daerah hukumnya yang dimintakan banding.
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI Bagian Keempat
Mahkamah Agung
Pasal 88
Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang
dimintakan kasasi.
BAB XI
KONEKSITAS
Pasal 89
(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka
yang termasuk Iingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa
dan diadili oleh pengadilan dalam
Iingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan
Menteri Pertahanan dan
Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu
harus diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan oleh suatu
tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dan polisi militer
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer
atau oditur militer tinggi sesuai
dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang
berlaku untuk penyidikan
perkara pidana.
(3) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan
surat keputusan bersama
Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.
Pasal 90
(1) Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer atau pengadilan
dalam Iingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara
pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian
bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi
dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar
hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal
89 ayat (2).
(2) Pendapat dan penelitian bersama tersebut dituangkan
dalam. berita acara yang
ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(3) Jika dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian
pendapat tentang pengadilan yang
berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu
dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi
kepada Jaksa Agung dan oleh oditur militer atau oditur
militer tinggi kepada Oditur Jenideral
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pasal 91
(1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
90 ayat (3) titik berat kerugian
yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, maka
perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan
penyerahan perkara yang
diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi
kepada penuntut umum, untuk
dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada
pengadilan negeri yang berwenang.
(2) Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang
ditimbulkan oleh tindak pidana
tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara
pidana itu harus diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat
sebagaimaña dimaksud dalam
Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
untuk mengusulkan kepada Menteri Pertahan dan Keamanan, agar
dengan persetujuan
Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan
dan Keamanan yang
menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer.
(3) Surat keputusan tersebut pada ayat (2) dijadikan dasar
bagi perwira penyerah perkara dan
jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut
kepada mahkamah militer atau
mahkamah militer tinggi.
Pasal 92
(1) Apabila perkara diajukan kepada pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 ayat (1), maka berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh
tim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi catatan oleh penuntut umum
yang mengajukan perkara,
bahwa berita acara tersebut telah diambil alih olehnya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
juga bagi oditur militer atau oditur
militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan kepada
pengadilan dalam Iingkungan
peradilan militer.
Pasal 93
(1) Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 90 ayat (1) terdapat
perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer
atau oditur militer tinggi, mereka
masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu
secara tertulis, dengan disertai
berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi,
kepada Jaksa Agung dan kepada
Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(2) Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia bermusyawarah
untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(3) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung
dan Oditur Jenderal Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang
menentukan.
Pasal 94
(1) Dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 ayat (1) diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan
peradilan militer, yang
mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri
dari sekurang-kurangnya tiga
orang hakim. (2) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum yang mengadili perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim
terdiri dari hakim ketua dari
lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing
ditetapkan dari peradilan
umum dan peradilan militer secara berimbang.
(3) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
yang mengadili perkara pidana
tersebut pada Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari
hakim ketua dari Iingkungan
peradilan militer dan hakim anggota secara berimbang dari
masing-masing lingkungan
peradilan militer dan dari peradilan umum yang diberi
pangkat militer tituler.
(4) Ketentuan tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku
juga bagi pengadilan tingkat banding.
(5) Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan
secara timbal balik
mengusulkan pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4) dan hakim perwira sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) dan ayat (4).
BAB XII
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
Bagian Kesatu
Ganti Kerugian
Pasal 95
(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti
kerugian karena ditangkap,
ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain,
tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan.
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli
warisnya atas penangkapan atau
penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
sebagaimana dimaksud dalarn ayat
(1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri,
diputus di sidang praperadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diajukan oleh tersangka,
terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kapada pengadilan
yang berwenang mengadili perkara
yang bersangkutan.
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti
kerugian tersebut pada ayat (1)
ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama
yang telah mengadili perkara
pidana yang bersangkutan.
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut
pada ayat (4) mengikuti acara
praperadilan.
Pasal 96(1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk
penetapan.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat
dengan Iengkap semua hal
yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.
BAB XII
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
Bagian Kedua
Rehabilitasi
Pasal 97
(1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh
pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya
telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan
sekaligus dalam putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan
atau penahanan tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang
perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang
dimaksud dalam Pasal 77.
BAB XIII
PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN GANTI KERUGIAN
Pasal 98
(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam
suatu pemeriksaan perkara
pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi
orang lain, maka hakim ketua
sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan
ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat diajukan selambatlambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan
pidana. Dalam hal penuntut umum
tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum
hakim menjatuhkan putusan.
Pasal 99
(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara
gugatannya pada perkara
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan
negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut,
tentang kebenaran dasar gugatan dan
tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan
oleh pihak yang dirugikan tersebut.
(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak
berwenang mengadili gugatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima, putusan
hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian
biaya yang telah dikeluarkan
oleh pihak yang dirugikan.
(3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya
mendapat kekuatan tetap apabila
putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.
Pasal 100
(1) Apabila teriadi penggabungan antara perkara perdata dan
perkara pidana, maka
penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam
pemeriksaan tingkat banding.
(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan
permintaan banding, maka
permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak
diperkenankan.
Ketentuan dan aturan hukum acara perdata berlaku bagi
gugatan ganti kerugian sepanjang
dalam undang-undang ini tidak diatur.
Pasal 101
Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi
gugatan ganti kerugian sepanjang
dalam undang-undang ini tidak diatur lain.
BAB XIV
PENYIDIKAN
Bagian Kesatu
Penyelidikan
Pasal 102
(1) Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau
pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib
segera melakukan tindakan
penyelidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah
penyidik, penyelidik wajib segera
melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan
sebagaimana tersebut pada
Pasal 5 ayat (1) huruf b.
(3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1)
dan ayat (2) penyelidik wajib
membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik
sedaerah hukum.
Pasal 103(1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara
tertulis harus ditandatangani oleh pelapor
atau pengadu.
(2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus
dicatat oleh penyelidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan
penyelidik.
Pasal 104
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib
menunjukkan tanda pengenalnya.
Pasal 105
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik
dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk
oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
BAB XIV
PENYIDIKAN
Bagian Kedua
Penyidikan
Pasal 106
Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan
tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib
segera melakukan tindakan
penyidikan yang diperlukan.
Pasal 107
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada
Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan
petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf b dan memberikan bantuan
penyidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan
tindak pidana sedang dalam
penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf b dan kemudian ditemukan bukti
yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik
tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada
Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum melalui penyidik
tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 108
(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan
atau menjadi korban peristiwa
yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan
atau pengaduan kepada
penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun
tertulis. (2) Setiap orang yang
mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa
atau terhadap hak milik wajib
seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik
atau penyidik.
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya
yang mengetahui tentang
terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib
segera melaporkan hal itu kepada
penyelidik atau penyidik.
(4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis
harus ditandatangani oleh pelapor
atau pengadu.
(5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus
dicatat oleh penyidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.
(6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau
penyidik harus memberikan
surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang
bersangkutan.
Pasal 109
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan
suatu peristiwa yang merupakan
tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum.
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
atau penyidikan dihentikan demi
hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum, tersangka atau
keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan
oleh penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan
mengenai hal itu segera disampaikan
kepada penyidik dan penuntut umum.
Pasal 110
(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan,
penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan tersebut ternyata masih
kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas
perkara itu kepada penyidik
disertai petunjuk untuk dilengkapi.
(3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan
untuk dilengkapi, penyidik
wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan
petunjuk dari penuntut umum.
(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu
empat belas hari penuntut umum
tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum
batas waktu tersebut berakhir
telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum
kepada penyidik.
Pasal 111(1) Dalam hal tertangkap tangan setiap orang
berhak, sedangkan setiap orang yang
mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan
keamanan umum wajib,
menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa
barang bukti kepada penyelidik
atau penyidik.
(2) Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) penyelidik
atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan
tindakan lain dalam rangka penyidikan.
(3) Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan
tersebut segera datang ke tempat
kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan
tempat itu selama pemeriksaan di
situ belum selesai.
(4) Pelanggar Iarangan tersebut dapat dipaksa tinggal di
tempat itu sampai pemeriksaan
dimaksud di atas selesai.
Pasal 112
(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan
alasan pemanggilan secara
jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap
perlu untuk diperiksa dengan
surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu
yang wajar antara
diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan
memenuhi panggilan tersebut.
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan
jika ia tidak datang penyidik
memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk
membawa kepadanya.
Pasal 113
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi
alasan yang patut dan wajar bahwa
ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan
pemeriksaan, penyidik itu datang ke
tempat kediamannya.
Pasal 114
Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana
sebelum dimulainya pemeriksaan
oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya
tentang haknya untuk mendapatkan
bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib
didampingi oleh penasihat hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
Pasal 115
(1) Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap
tersangka penasihat hukum
dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat
serta mendengar pemeriksaan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat
hukum dapat hadir dengan cara
melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap
tersangka
Pasal 116
(1) Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila
ada cukup alasan untuk diduga
bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di
pengadilan. (2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan
yang satu dengan yang lain
dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya.
(3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia
menghendaki didengarnya saksi yang
dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu
dicatat dalam berita acara.
(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik
wajib memanggil dan
memeriksa saksi tersebut.
Pasal 117
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik
diberikan tanpa tekanan dari siapa
pun dan atau dalam bentuk apapun.
(2) Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang
sebenarnya ia telah lakukan
sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan
kepadanya, penyidik mencatat dalam
berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang
dipergunakan oleh tersangka sendiri.
Pasal 118
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita
acara yang ditandatangani oleh
penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka
menyetujui isinya.
(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan
tanda tangannya, penyidik
mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut
alasannya.
Pasal 119
Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar
keterangannya berdiam atau
bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang
menjalankan penyidikan, pemeriksaan
terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada
penyidik di tempat kediaman
atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.
Pasal 120
(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta
pendapat orang ahli atau orang yang
memiliki keahlian khusus.
(2) AhIi tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji
di muka penyidik bahwa ia akan
memberi keterangan menurut pengetahuannya yang
sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan
karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang
mewajibkan ia menyimpan
rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang
diminta.
Pasal 121
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat
berita acara yang diberi tanggal
dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan
menyebut waktu, tempat dan
keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat
tinggal dari tersangka dan
atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan
atau benda serta segala sesuatu
yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
Pasal 122
Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah
perintah penahanan itu dijalankan
dan harus mulai diperiksa oleh penyidik.
Pasal 123
(I) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat
mengajukan keberatan atas penahanan
atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang
melakukan penahanan itu.
(2) Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut
dengan mempertimbangkan
tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau
tetap ada dalam jenis penahanan
tertentu.
(3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum
dikabulkan oleh penyidik,
tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan
hal itu kepada atasan penyidik.
(4) Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan
tersebut dengan
mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu
tetap ditahan atau tetap ada
dalam jenis tahanan tertentu.
(5) Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam
ayat tersebut di atas dapat
mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat.
Pasal 124
DaIam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah
menurut hukum, tersangka, keluarga
atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada
pengadilan negeri setempat untuk
diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah
penahanan atas diri tersangka
tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini.
PasaI 125
Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih
dahulu menunjukkan tanda
pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya
berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam PasaI 33 dan Pasal 34.
Pasal 126
(1) Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dari
hasil penggeledahan rumah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5).
(2) Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang
penggeledahan rumah kepada
yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan
ditandatangani oleh penyidik maupun
tersangka atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua
lingkungan dengan dua orang
saksi.
(3) Dalam haI tersangka atau keluarganya tidak mau
membubuhkan tandatangannya, hal itu
dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya Pasal
127
(1) Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah,
penyidik dapat mengadakan
penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan.
(2) Dalam hal ini penyidik berhak memerintahkan setiap orang
yang dianggap perlu tidak
meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan
berlangsung.
Pasal 128
Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia
menunjukkan tanda pengenalnya
kepada orang dari mana benda itu disita.
Pasal 129
(1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada
orang dari mana benda itu akan
disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan
tentang benda yang akan disita itu
dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua Iingkungan
dengan dua orang saksi.
(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan
terlebih dahulu kepada orang
darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi
tanggal dan ditandatangani oleh
penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa
atau ketua lingkungan dengan
dua orang saksi.
(3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau
keluarganya tidak mau membubuhkan
tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan
menyebut alasannya.
(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik
kepada atasannya, orang dari
mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.
Pasal 130
(1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau
jumlah menurut jenis masingmasing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan
tanggal penyitaan, identitas orang dari mana
benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi hak
dan cap jabatan dan ditandatangani
oleh penyidik.
(2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik
memberi catatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang
ditempelkan dan atau dikaitkan pada
benda tersebut.
Pasal 131
(1) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya
sehingga ada dugaan kuat dapat
diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab,
daftar dan sebagainya, penyidik
segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk
menggeledah, memeriksa surat, buku atau
kitab, daftar dan sebagainya dan jika perlu menyitanya.
(2) Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan
sebagaimana diatur dalam pasal 129
undang-undang ini. Pasal 132
(1) Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau
tulisan palsu atau dipalsukan atau
diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan
penyidikan, oleh penyidik dapat
dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.
(2) Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau
yang dipalsukan, penyidik
dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat dapat
datang atau dapat minta kepada
pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia
mengirimkan surat asli yang
disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan
perbandingan.
(3) Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk
pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak
dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam
pasal 131, penyidik dapat minta
supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan
dalam surat permintaan dikirimkan
kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda
penerimaan.
(4) Dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tidak menjadi bagian dari suatu
daftar, penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya sampai
surat yang asli diterima
kembali yang dibagian bawah dari salinan itu penyimpan
mencatat apa sebab salinan itu dibuat.
(5) Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam
waktu yang ditentukan dalam surat
permintaan, tanpa alasan yang sah, penyidik berwenang
mengambilnya.
(6) Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam
pasal ini dibebankan pada dan
sebagai biaya perkara.
Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi
label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap
jabatan yang dilekatkan pada ibu
jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134
(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan
pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan
terlebih dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan
dengan sejelas-jelasnya
tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan
tersebut. (3) Apabila dalam waktu dua
hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang
diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Pasal 135
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu
melakukan penggalian mayat,
dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 133 ayat (2) dan pasal
134 ayat (1) undang-undang ini.
Pasal 136
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam
Bagian Kedua Bab 14 ditanggung oleh negara.
BAB XV
PENUNTUTAN
Pasal 137
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap
siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan
melimpahkan perkara ke
pengadilan yang berwenang mengadili.
Pasal 138
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dan
penyidik segera mempelajari dan
menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan
kepada penyidik apakah hasil
penyidikan itu sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap,
penuntut umum mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang
harus dilakukan untuk dilengkapi
dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan
berkas, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut
umum.
Pasal 139
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil
penyidikan yang lengkap dari
penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu
sudah memenuhi persyaratan untuk
dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Pasal 140
(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat
dakwaan. (2) a.Dalam hal penuntut umum
memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau
perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal
tersebut dalam surat ketetapan.
b.Isi surat
ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib
segera dibebaskan.
c.Turunan surat
ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau
penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan
hakim.
d. Apabila
kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap tersangka
Pasal 141
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dalam satu surat
dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan
ia menerima beberapa
berkas perkara dalam hal:
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang
sama dan kepentingan
pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan
yang lain;
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu
dengan yang lain, akan
tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang
dalam hal ini
penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan
pemeriksaan.
Pasal 142
Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang
memuat beberapa tindak
pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang
tidak termasuk dalam ketentuan
Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap
masing-masing terdakwa
secara terpisah.
(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri
dengan permintaan agar
segera mengadii perkara tersebut disertai dengan surat
dakwaan.
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal
dan ditandatangani serta
berisi:
a.nama Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b.uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan termpat tindak pidana itu
dilakukan.
(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2)
huruf b batal demi hukum.
(4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan
kepada tersangka
atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada
saat yang bersamaan. dengan
penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan
negeri.
Pasal 144
(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum
pengadilan menetapkan hari
sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk
tidak melanjutkan
penuntutannya.
(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya
satu kali selambat-lambatnya
tujuh hari sebelum sidang dirnulai.
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia
menyampaikan turunannya kepada
tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Kesatu
Panggilan dan Dakwaan
Pasal 145
(1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan
dilakukan Secara sah, apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat
tempat tinggalnya atau
apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di
tempat kediaman terakhir.
(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau
ditempat kediaman terakhir, surat
panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah
hukum tempat tinggal terdakwa
atau tempat kediaman terakhir.
(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan
disampaikan kepadanya melalui
pejabat rumah tahanan negara.
(4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun
oleh orarig lain atau melalui
orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir
tidak dikenal, surat panggilan
ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang
berwenang mengadili
perkaranya.
Pasal 146
(1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada
terdakwa yang memuat tanggal,
hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil
yang harus sudah diterima oleh yang
bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang
dimulai. (2) Penuntut umum menyampaikan
surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari
serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang
harus sudah diterima oleh yang
bersangkutan selambat-Iambatnya tiga hari sebelum sidang
dimulai.
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Kedua
Memutus Sengketa mengenai Wewenang Mengadili
Pasal 147
Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara
dari penuntut umum, ketua
mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan
yang dipimpinnya.
Pasal 148
(1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa
perkara pidana itu tidak termasuk
wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk
wewenang pengadilan negeri lain, ia
menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada
pengadilan negeri lain yang dianggap
berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang memuat
alasannya.
(2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali
kepada penuntut umum selanjutnya
kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada
kejaksaan negeri di tempat
pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan.
(3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) disarnpaikan kepada
terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik.
Pasal 149
(1) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat
penetapan pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka:
a.Ia mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi yang
bersangkutan dalam waktu
tujuh hari setelah penetapan tersebut diterima;
b.tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut di atas
mengakibatkan batalnya
perlawanan;
c. perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan
negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 148 dan hal itu dicatat dalam buku
daftar panitera;
d. dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan
perlawanan tersebut
kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan. (2) Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama
empat belas hari setelah menerima perlawanan
tersebut dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan
surat penetapan.
(3) Dalam hal pengadilan tinggi menguatkan perlawanan
penuntut umum, maka dengan surat
penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri yang
bersangkutan untuk menyidangkan
perkara tersebut.
(4) Jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan
negeri, pengadilan tinggi
mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada pengadilan
negeri yang bcrsangkutan.
(5) Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan
ayat (4) disampaikan kepada penuntut umum.
Pasal 150
Sengketa tentang wewenang mengadili terjadi:
a.jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya
berwenang mengadili atas perkara
yang sama;
b.jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak
berwenang mengadili perkara
yang sama.
Pasal 151
(1) Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang mengadili
antara dua pengadilan negeri
atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya.
(2) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir
semua sengketa tentang
wewenang mengadili:
a.antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan
pengadilan dari lingkungan
peradilan yang lain;
b.antara dua pengadilan negeri yang berkedudukan dalam
daerah hukum pengadilan
tinggi yang berlainan;
c.antara dua pengadilan tinggi atau lebih.
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Ketiga
Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 152(1) Dalam hal pengadilan negeri menerima surat
pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa
perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk
hakim yang akan
menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu
menetapkan hari sidang.
(2) Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa
dan saksi untuk datang
di sidang pengadilan.
Pasal 153
(1) Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan
bersidang.
(2) a.Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang
pengadilan yang dilakukan secara
lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa
dan saksi;
b.Ia wajib menjaga
supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang
mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara
tidak bebas.
(3) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan
terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan
atau terdakwanya anak-anak.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3)
mengakibatkan batalnya putusan
demi hukum.
(5) Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang
belum mencapai umur tujuh
belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang.
Pasal 154
(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa
dipanggil masuk dan jika ia dalam
tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas.
(2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak
ditahan tidak hadir pada hari sidang
yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah
terdakwa sudah dipanggil secara
sah.
(3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua
sidang rnenunda persidangan dan
memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir
pada hari sidang berikutnya.
(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi
tidak datang di sidang tanpa alasan
yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat
dilangsungkan dan hakim ketua sidang
memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa
dan tidak semua terdakwa hadir
pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir
dapat dilangsungkan.
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak
hadir tanpa alasan yang sah
setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan
dengan paksa pada sidang
pertama berikutnya.
(7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya
kepada hakim ketua sidang.
Pasal 155
(1) Pada permulaan sidang. hakim ketua sidang menanyakan
kepada terdakwa tentang nama
Iengkap. tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaannya sertta mengingatkan terdakwa supaya
memperhatikan segala
sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.
(2)a.Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut
umum untuk membacakan surat
dakwaan;
b.Selanjutnya
hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benarbenar
mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas
permintaan
hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang
diperlukan.
Pasal 156
(1) Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan
keberatan bahwa pengadilan tidak
berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat
diterima atau surat dakwaan harus
dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut
umum untuk menyatakan
pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk
selanjutnya mengambil
keputusan.
(2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka
perkara itu tidak diperiksa
lebih .lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau
hakim berpendapat hal tersebut baru
dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang
dilanjutkan.
(3) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan
tersebut, maka Ia dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui
pengadilan negeri yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau
penasihat hukumnya diterima oleh
pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari,
pengadilan tinggi dengan surat
penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan
memerintahkan pengadilan negeri
yang berwenang untuk memeriksa perkara itu.
(5) a. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan
permintaan banding oleh
terdakwa atau penasihat hukumnya kepada pengadilan tinggi,
maka dalam waktu empat belas
hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan
terdakwa, pengadilan tinggi
dengan keputusan membátalkan putusan pengadilan negeri yang
bersangkutan dan menunjuk
pengadilan negeri yang berwenang;
b.Pengadilan
tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada pengadilan negeri
yang berwenang dan kepada pengadilan negeri yang semula
mengadili perkara yang
bersangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan
kepada kejaksaan negeri yang
telah melimpahkan perkara itu.
(6) Apabila pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5) berkedudukan
di daerah hukum pengadilan tinggi lain maka kejaksaan negeri
mengirimkan perkara tersebut kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum
pengadilan negeri yang berwenang di tempat
itu.
(7) Hakim ketua sidang karena jabatannya walaupun tidak ada
perlawanan, setelah
mdndengar pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan surat
penetapan yang memuat
alasannya dapat menyatakán pengadilan tidak berwenang.
Pasal 157
(1) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili
perkara tertentu apabila ia terikat
hubungan keluarga sedarah atau Semenda sampai derajat
ketiga, hubungan suami atau isteri
meskipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah
seorang hakim anggota, penuntut
umum atau panitera.
(2) Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau
panitera wajib mengundurkan diri
dari menangani perkara apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semeñda sampai
derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun
sudah bercerai dengan terdakwa atau
dengan penasihat hukum.
(3) Jika dipenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) mereka
yang mengundurkan diri harus diganti
dan apabila tidak dipenuhi atau tidak diganti sedangkan
perkara telah diputus, maka perkara
wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 158
Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan
pernyataan di sidang tentang
keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
Pasal 159
(1) Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua
saksi yang dipanggil telah hadir
dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi
berhubungan satu dengan yang
lain sebelum memberi keterangan di sidang.
(2) Dalam hal saksi tidák hadir, meskipun telah dipanggil
dengan sah dan hakim ketua sidang
mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak
akan mau hadir, maka hakim
ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut
dihadapkan ke persidangan.
Pasal 160
(1)a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi
seorang menurut urutan yang
dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah
mendengar pendapat penuntut
umum, terdakwa atau penasihat hukum;
b.Yang
pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi;
c. Dalam hal ada
saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa
yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang
diminta oleh terdakwa atau
penasihat hukum atau penuntut umum selamĂŁ berIangsungnya
sidang atau sebelum
dijatuhkannya putusán, hakim ketua sidang wajib mendengar
keterangan saksi tersebut. (2) Hakim
ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan,
selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa
melakukan perbuatan yang menjadi
dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau
semenda dan sampai derajat
keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri
terdakwa meskipun sudah
bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.
(3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan
sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan
yang sebenarnya dan tidak
lain daripada yang sebenarnya.
(4) Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau
ahli wajib bersumpah atau berjanji
sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.
Pasal 161
(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak
untuk bersumpah atau berjanji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4),
maka pemeriksaan
terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat
penetapan hakim ketua sidang dapat
dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama
empat belas hari.
(2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah
lampau dan saksi atau ahli tetap
tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan
yang telah diberikan
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan
hakim.
Pasal 162
(1) Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan
meninggal dunia atau karena
halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak
dipanggil karena jauh tempat
kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang
berhubungan dengan
kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya
itu dibacakan.
(2) Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah
sumpah, maka keterangan itu
disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah
yang diucapkan di sidang.
Pasal 163
Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya
yang terdapat dalam berita
acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu
serta minta keterangan
mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acâra
pemeriksaan sidang.
Pasal 164
(1) Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan,
hakim ketua sidang menanyakan
kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan
tersebut.
(2) Penuntut umum atau penasihat hukum dengan perantaraan
hakim ketua sidang diberi
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan
terdakwa.
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang
diajukan oleh penuntut umum atau
penasihat hukum kepada saksi atau terdakwa dengan memberikan
alasannya. Pasal 165
(1) Hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat minta kepada
saksi segala keterangan yang
dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran.
(2) Penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan
hakim ketua sidang
diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada
saksi.
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang
diajukan oleh penuntut umum,
terdakwa atau penasihat hukum kepada saksi dengan memberikan
alasannya.
(4) Hakim dan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat
hukum dengan perantaraan
hakim ketua sidang, dapat saling menghadapkan saksi untuk
menguji kebenaran keterangan
mereka masing-masing.
Pasal 166
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak bolèh diajukan baik
kepada terdakwa; maupun kepada
saksi
Pasal 167
(1) Setelah saksi .memberi keterangan, ia tetap hadir di
sidang kecuali hakim ketua sidang
memberi izin untuk meninggalkannya.
(2) Izin itu tidak diberikán jika penuntut umum atau
terdakwa atau penasihat hukum
mengajukan permintaan supaya saksi itu tetap menghadiri
sidang.
(3) Para saksi selama sidang dilarang saling
bercakap-cakap.
Pasal 168
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak
dapat didengar keterangannya
dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas
atau ke bawah sarnpai
derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.
b. saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagal
terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dari anakanak saudara terdakwa sampal derajat ketiga
c. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau
yang bersama-sama
sebagai terdakwa.
Pasal 169
(1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168
menghendakinya dan penuntut
umum serta tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di
bawah sumpah. (2) Tanpa persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka diperbolehkan
memberikan keterangan tanpa sumpah.
Pasal 170
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi
keterangan sebagai saksi,
yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk
permintaan tersebut.
Pasal 171
Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah
ialah :
a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin;
b.orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali.
Pasal 172
(1) Setelah saksi memberi keterangan maka terdakwa atau
penasihat hukum atau penuntut
umum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang,
agar di antara saksi tersebut
yang tidak mereka kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari
ruang sidang, supaya saksi
lainnya dipanggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk
didengar keterangannya, baik seorang
demi seorang maupun bersama-sama tanpa hádirnya saksi yang
dikeluarkan tersebut.
(2) Apabila dipandang perlu hakim karena jabatannya dapat
minta supaya saksi yang tèlah
didengar keterangannya ke luar dari ruang sidang untuk
selanjutnya mendengar keterangan
saksi yang lain.
Pasal 173
Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai
hal tertentu tanpa hadirnya
terdakwa, untuk itu Ia minta terdakwa ke luar dari ruang
sidang akan tetapi sesudah itu
pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada
terdakwa diberitahukan semua
hal pada waktu ia tidĂŁk hadir.
Pasal 174
(1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim
ketua sidang memperingatkan
dengan sungguh -sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan
yang sebenarnya dan
mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya
apabila ia tetap
memberikan keterangan palsu.
(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua
sidang karena jabatannya atau
atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi
perintah supaya saksi itu
ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan
sumpah palsu. (3) Dalam hal yang
demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang
yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan
persangkaan, bahwa keterangan
saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut
ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta
panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk
diselesaikan menurut ketentuan
undang-undang ini.
(4) Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam
perkara semula sampai
pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Pasal 175
Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk
menjawab, pertanyaan yang diajukan
kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab
dan setelah itu pemeriksaan
dilanjutkan.
Pasal 176
(1) Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga
mengganggu ketertiban sidang,
hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak
diindahkan ia memerintahkan
supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian
pemeriksaan perkara pada waktu
itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa.
(2) Dalam hal terdakwa secara terus menerus bertingkah laku
yang tidak patut sehingga
mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang
mengusahakan upaya sedemikian rupa
sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya
terdakwa.
Pasal 177
(1) Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia,
hakim ketua sidang menunjuk
seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan
menterjemahkan dengan benar
semua yang harus diterjemahkan.
(2) Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu
perkara Ia tidak boleh pula
menjadi juru bahasa dalam perkara itu.
Pasal 178
(1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak
dapat menulis, hakim ketua sidang
mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul
dengan terdakwa atau saksi itu.
(2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat
menulis, hakim ketua sidang
menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara
tertulis dan kepada
terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis
jawabannya dan selanjutnya semua
pertanyaan serta jawaban harus dibacakan
Pasal 179
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakirnan atau dokter
atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan. (2) Semua ketentuan tersebut
di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan
sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang
sebenarnya menurut pengetahuan
dalam bidang keahliannya.
Pasal 180
(1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya
persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli
dan dapat pula minta agar
diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
(2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa
atau penasihat hukum terhadap
hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hakim memerintahkan agar hal itu
dilakukan penelitian ulang.
(3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk
dilakukan penelitian ulang
sebagaimana tersebut pada ayat (2).
(4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan
ayat (3) dilakukan oleh instansi
semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi
lain yang mempunyai wewenang
untuk itu.
Pasal 181
(1) Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala
barang bukti dan
menanyakan kepadañya apakah Ia mengenal benda itu dengan
memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini.
(2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua
sidang kepada saksi.
(3) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua
sidang membacakan atau
memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau
saksi dan selanjutnya minta
keterangan seperlunya tentang hal itu.
Pasal 182
(1) a.Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum
mengajukan tuntutan pidana;
b.Selanjutnya
terdakwa dan atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat
dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa
atau penasihat hukum selalu
mendapat giliran terakhir.
c.Tuntutan,
pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah
dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan
turunannya kepada pihak yang
berkepentingan.
(2) Jika acara tersebut pada ayat (1) telah selesai, hakim
ketua sidang menyatakan bahwa
pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat
membukanya sekali lagi, baik atas
kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas
permintaan penuntut umum
atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan
alasannya. (3) Sesudah itu hakim
mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan
apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa,
saksi, penasihat hukum, penuntut
umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.
(4) Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas
surat dakwaan dan segala
sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
(5) Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis
mengajukan pertanyaan dimulai dari
hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang
terakhir mengemukakan
pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat
harus disertai pertimbangan
beserta alasannya.
(6) Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan
hasil permufakatan bulat
kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka
berlaku ketentuan sebagai berikut
a.putusan diambil dengan suara terbanyak;
b.jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat
diperoleh, putusan yang dipilih adalah
pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
(7) Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (6) dicatat dalam
buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan
itu dan isi buku tersebut
sifatnya rahasia.
(8) Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan
pada hari itu juga atau pada
hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada
penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum.
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Keempat
Pembuktian dan Putusan
Dalam Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Pasal 184
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a.keterangan saksi; b.keterangan ahli;
c.surat;
d.petunjuk;
e.keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan.
Pasal 185
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
berlaku apabila disertai dengan
suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri
tentang suatu kejadian atau
keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah
apabila keterangan saksi itu
ada .hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,
sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekĂ an, yang diperoleh dari hasil
pemikiran saja, bukan merupakan
keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim
harus dengan sungguhsungguh memperhatikan
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang
lain;
b .persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti
lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang
tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang
pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun
sesuai satu dengan yang lain tidak
merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai
dengan keterangan dari saksi yang
disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah
yang lain.
Pasal 186
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di
sidang pengadilan.
Pasal 187Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1)
huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a.berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat
keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya
itu;
b.surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian
sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
c.surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dan padanya;
d.surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
Pasal 188
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang
karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari ;
a.keterangan saksi;
b. surat;
c.keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk
dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati
nuraninya.
Pasal 189
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang
ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu
menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung
oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap
dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal
dengan alat bukti yang lain. Pasal 190
a. Selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak
ditahan, pengadilan dapat
memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan
terdakwa apabila dipenuhi
ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu.
b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dapat
memerintahkan dengan surat penetapannya
untuk membebaskan terdakwaa jika terdapat alasan cukup untuk
itu dengan mengingat
ketentuan Pasal 30.
Pasal 191
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
di sidang, kesalahan terdakwa
atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan, maka
terdakwa dakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan képada terdakwa terbukti,
tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,
maka terdakwa diputus lepas dari
segala tuntutan hukum.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2), terdakwa yang ada dalam
status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu
juga kecuali karena ada alasan lain
yang sah terdakwa perlu ditahan.
Pasal 192
(1) Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 191 ayat (3)
segera dilaksanakan oleh jaksa sesudah putusan
diucapkan.
(2) Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut
yang dilampiri surat penglepasan,
disampaikan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan
selambat-lambatnya dalam waktu
tiga kali dua puluh empat jam.
Pasal 193
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana.
(2) a.Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa
tidak ditahan, dapat
memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila
dipenuhi ketentuan Pasal 21 dasi
terdapat alasan cukup untuk itu.
b.Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan
putusannya, dapat menetapkan
terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya,
apabila terdapat alasan cukup
untuk itu.
Pasal 194
(1) Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum,
pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita
diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya
tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika
menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus
dirampas untuk kepentingan negara
atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi.
(2) Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan
menetapkan supaya barang bukti
diserahkan segera sesudah sidang selesai.
(3) Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa
disertai sesuatu syarat apapun kecuali
dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Pasal 195
Semua putusan pengadilan. hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan di
sidang terbuka untuk umum.
Pasal 196
(1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa
kecuali dalam hal undang-undang
ini menentukan lain.
(2) Dalam hal terdapat Iebih dari seorang terdakwa dalam
satu perkara, putusan dapat
diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
(3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim
ketua sidang wajib
memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang
menjadi haknya, yaitu:
a. hak segera menerima atau. segera menolak putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau
menolak putusan,
dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang
ini;
c. hak minta menangguhkan pelaksanaan putusan dalam tenggang
waktu yang
ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi,
dalam hal ia menerima
putusan;
d. hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding
dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal Ia menolak
putusan;
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dalam tenggang
waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini.
Pasal 197
(1)Surat putusan pemidanaan memuat:
a.kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI
KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat
dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta
dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa,
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat
tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan
dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum dari putusan,
disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan
terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim
kecuali perkara diperiksa
oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi
semua unsur dalam
rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan
pemidanaan atau tindakan
yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya
yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau
keterangan di mana Ietaknya
kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap
palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan
atau dibebaskan;
l.hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim
yang memutus dan
nama panitera;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b,
c, d, e, f, h, j, k dan I pasal inii
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan
dalam undang-undang ini.
Pasal 198
(1) Dalam hal seorang hakim atau penuntut umum berhalangan,
maka ketua pengadilan atau
pejabat kejaksaan yang berwenang wajib segera menunjuk
pengganti pejabat yang
berhalangan tersebut.
(2) Dalam hal penasihat hukum berhalangan, ia menunjuk
penggantinya dan apabila pengganti
ternyata tidak ada atau juga berhalangan, maka sidang berjalan
terus.
Pasal 199
(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat :
a. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1)
kecuali huruf e, f dan h; b. pernyataan
bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi
dasar putusan;
c. perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika Ia
ditahan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2)
dan ayat (3) berlaku juga bagi
pasal ini.
Pasal 200
Surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera
seketika setelah putusan itu diucapkan.
Pasal 201
(1) Dalam hal terdapat surat palsu atau dipalsukan, maka
panitera melekatkan petikan putusan
yang ditandatanganinya pada surat tersebut yang memuat
keterangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 197 ayat (1) huruf j dan surat palsu atau yang
dipalsukan tersebut diberi catatan
dengan menunjuk pada petikan putusan itu.
(2) Tidak akan diberikan.salinan pertama atau salinan dari
surat asli palsu atau yang
dipalsukan kecuali panitera sudah membubuhi catatan pada
catatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) disertai dengan salinan petikan putusan.
Pasal 202
(1) Panitera membuat berita acara sidang dengan
memperhatikan persyaratan yang diperlukan
dan memuat segala kejadan di sidang yang berhubungan dengan
pemeriksaan itu.
(2) Berita acara sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memuat juga hal yang penting
dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli kecuali jika hakim
ketua sidang menyatakan bahwa
untuk ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita
acara pemeriksaan dengan menyebut
perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan
lainnya.
(3) Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat
hukum, hakim ketua sidang
wajib memerintahkan kepada panitera supaya dibuat catatan
secara khusus tentang suatu
keadaan atau keterangan.
(4) Berita acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua
sidang dan panitera kecuali apabila
salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu
dinyatakan dalam berita acara tersebut.
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Kelima
Acara Pemeriksaan Singkat
Pasal 203(I) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan
singkat ialah perkara kejahatan atau
pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang
menurut penuntut umum
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya
sederhana.
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penuntut umum menghadapkan
terdakwa beserta saksi, ahli, juru babasa dan barang bukti
yang diperlukan.
(3) Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu,
Bagian Kedua dan Bagian Ketiga
Bab ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan
ketentuan di bawah ini:
a. 1. penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang
menjawab segala
pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1)
memberitahukan dengan
lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana
yang didakwakan
kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada
waktu tindak
pidana itu dilakukan;
2.pemberitahuan
ini dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti
surat dakwaan;
b. dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan,
supaya diadakan pemeriksaan
tambahan dalam waktu paling lama empat belas hari dan
bilamana dalam waktu tersebut
penuntut umum belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan
tambahan, maka hakim
memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan
dengan acara biasa;
c. guna kepentingan. pembelaan, maka atas permintaan
terdakwa dan atau penasihat hukum,
hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama tujuh hari;
d. putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam
berita acara sidang;
e. hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut;
f. isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama
seperti putusan pengadilan dalam
acara biasa.
Pasal 204
Jika dari pemeriksaan di sidang sesuatu perkara yang
diperiksa de.ngan acara singkat ternyata
sifatnya jelas dan ringan, yang seharusnya diperiksa dengan
acara cepat, maka hakim dengan
persetujuan terdakwa dapat melanjutkan pemeriksaan
tersebut.
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Keenam
Acara Pemeriksaan Cepat
Paragraf 1
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan Pasal 205
(1) Yang diperiksa rnenurut acara pemeriksaan tindak pidana
ringan ialah perkara yang
diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga
bulan dan atau denda
sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan
penghinaan ringan kecuali yang
ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penyidik atas kuasa penuntut umum,
dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai
dibuat, menghadapkan terdakwa
beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke
sidang pengadilan.
(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), pengadilan mengadili
dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir,
kecuali dalam hal dijatuhkan pidana
perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.
Pasal 206
Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk
mengadili perkara dengan acara
pemeriksaan tindak pidana ringan.
Pasal 207
(I) a. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada
terdakwa tentang hari, tanggaI, jam dan
tempat ia harus menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut
dicatat dengan baik oleh
penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke
pengadilan.
b. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan
yang diterima harus segera
disidangkan pada hari sidang itu juga.
(2) a.Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera
mencatat dalam buku register semua
perkara yang diterimanya.
b. Dalam buku register dimuat nama Iengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
terdakwa serta apa yang
didakwakan kepadanya.
Pasal 208
Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak
mengucapkan sumpah atau janji
kecuali hakim menganggap perlu.
Pasal 209
(1) Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara
dan seIanjutnya oleh panitera
dicatat dalam buku register serta ditandatangani oleh hakim
yang bersangkutan dan panitera.
(2) Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali
jika dalam pemeriksaan tersebut
ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara
pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.
Pasal 210
Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian
Ketiga Bab ini tetap berlaku
sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf
ini. Paragraf 2 Acara
Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
Pasal 211
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada Paragraf ini
ialah perkara pelanggaran
tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas
jalan.
Pasal 212
Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan
berita acara pemeriksaan, oleh
karena itu catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat
(1) huruf a segera diserahkan
kepada pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari
sidang pertama berikutnya.
Pasal 213
Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk
mewakilinya di sidang.
Pasal 214
(I) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang,
pemeriksaan perkara dilanjutkan.
(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa,
surat amar putusan segera
disampaikan kepada terpidana.
(3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh
penyidik kepada terpidana,
diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku
register.
(4) Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa
dan putusan itu berupa pidana
perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan
(5) Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan
secara sah kepada terdakwa, ia
dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang
menjatuhkan putusan itu.
(6) Dengan perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa
menjadi gugur.
(7) Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik tentang
perlawanan itu hakim
menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara.
(8) Jika putusan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa
pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), terhadap putusan tersebut terdakwa dapat
mengajukan banding.
Pasal 215
Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang
paling berhak, segera setelah
putusan dijatuhkan jika terpidana telah memenuhi isi amar
putusan. Pasal 216
Ketentuan dalam Pasal 210 tetap berlaku sepanjang peraturan
itu tidak bertentangan dengan
Paragraf ini.
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Ketujuh
Pelbagai Ketentuan
Pasal 217
(1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara
tata tertib di persidangan.
(2)Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang
untuk memelihara tata tertib di
persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan
cermat.
Pasal 218
(1) Dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkan sikap
hormat kepada pengadilan.
(2)Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai
dengan martabat pengadilan dan
tidak mentaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari
hakim ketua sidang, atas
perintahnya yang bersangkutan di keluarkan dari ruang
sidang.
(3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) bersifat suatu
tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan
penuntutan terhadap pelakunya.
Pasal 219
(1) Siapa pun dilarang membawa senjata api, senjata tajam,
bahan peledak atau alat maupun
benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang
membawanya wajib
menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu.
(2) Tanpa surat perintah, petugas keamanan pengadilan karena
tugas jabatannya dapat
mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin bahwa
kehadiran seorang di ruang
sidang tidak membawa senjata, bahan atau alat maupun benda
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan apabila terdapat maka petugas mempersilahkan
yang bersangkutan untuk
menitipkannya.
(3). Apabila yang bersangkutan bermaksud meninggalkan ruang
sidang, maka petugas wajib
menyerahkan kembali benda titipannya.
(4) Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi
kemungkinan untuk dilakukan penuntutan
bila ternyata bahwa penguasaan atas benda tersebut bersifat
suatu tindak pidana. Pasal 220
(1) Tiada seorang hakim pun diperkenankan mengadili suatu
perkara yang ia sendiri
berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim yang
bersangkutan, wajib
mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri maupun atas
permintaan penuntut umum,
terdakwa atau penasihat hukumnya.
(3) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai
hal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), maka pejabat pengadilan yang berwenang yang
menetapkannya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam makna ayat tersebut
di atas berlaku juga bagi
penuntut umum.
Pasal 221
Bila dipandang perlu hakim di sidang atas kehendaknya
sendiri maupun atas permintaan
terdakwa atau penasihat hukumnya dapat memberi penjelasan
tentang hukum yang berlaku.
Pasal 222
(l) Siapa pun yang diputus pidana dibebani membayar biaya
perkara dan dalam hal putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara
dibebankan pada negara.
(2) Dalam hal terdakwa sebelumnya telah mengajukan
permohonan pembebasan dari
pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat tertentu dengan
persetujuan pengadilan, biaya
perkara dibebankan pada negara.
Pasal 223
(1) Jika hakim memberi perintah kepada seorang untuk
mengucapkan sumpah atau janji di luar
sidang, hakim dapat menunda pemeriksaan perkara sampai pada
hari sidang yang lain.
(2) Dalam hal sumpah atau janji dilakukan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), hakim
menunjuk panitera untuk menghadiri pengucapan sumpah atau
janji tersebut dan membuat
berita acaranya.
Pasal 224
Semua surat putusan pengadilan disimpan dalam arsip
pengadilan yang mengadili perkara itu
pada tingkat pertama dan tidak boleh dipindahkan kecuali
undang-undang nienentukan lain.
Pasal 225
(1) Panitera menyelenggarakan buku daftar untuk semua
perkara.
(2) Dalam buku daftar itu dicatat nama dan identitas
terdakwa, tindak pidana yang didakwakan,
tanggal penerimaan perkara, tanggal terdakwa mulai ditahan
apabila ia ada dalam tahanan,
tanggal dan isi putusan secara singkat, tanggal penerimaan
permintaan dan putusan banding atau kasasi, tanggal permohonan serta pemberian
grasi, amnesti, abolisi atau rehabilitasi, dan
lain hal yang erat hubungannya dengan proses perkara.
Pasal 226
(1) Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada
terdakwa atau penasihat hukumnya
segera setelah putusan diucapkan.
(2) Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada
penuntut umum dan penyidik,
sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan
atas permintaan.
(3) Salinan surat putusan pengadilan hanya boleh diberikan
kepada orang lain dengan seizin
ketua pengadilan setelah mempertimbangkan kepentingan dan
permintaan tersebut.
Pasal 227
(1) Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang
berwenang dalam semua
tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli
disampaikan selambat-lambatnya tiga
hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal
mereka atau di tempat kediaman
mereka terakhir.
(2) Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus
bertemu sendiri dan berbicara
langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan
bahwa panggilan telah diterima
oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta
tandatangan, baik oleh petugas
maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak
menandatangani maka petugas
harus mencatat alasannya.
(3) Dalam hal orang yang dipanggil tidak terdapat di salah
satu termpat sebagaimana
dirnaksud dalam ayat (1), surat panggilan disampaikan
melalui kepala desa atau pejabat dan
jika di luar negeri melalui perwakilan Republik Indonesia di
tempat di mana orang yang
dipanggil biasa berdiam dan apabila masih belum juga
berhasil disampaikan, maka surat
panggilan ditempelkan di tempat pengumuman kantor pejabat
yang mengeluarkan panggilan
tersebut.
Pasal 228
Jangka atau tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai diperhitungkan
pada hari
berikutnya.
Pasal 229
(1) Saksi atau ahli yang teIah hadir memenuhi panggilan
dalam rangka memberikan
keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat
penggantian biaya menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan
kepada saksi atau ahli
tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 230 (1) Sidang pengadilan dilangsungkan di gedung
pengadilan dalam ruang sidang.
(2) Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat
hukum dan panitera mengenakan
pakaian sidang dan atribut masing-masing.
(3) Ruang sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditata
menurut ketentuan sebagai
berikut:
a. tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari
tempat penuntut umum, terdakwa,
penasihat hukum dan pengunjung;
b. tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat
hakim ketua sidang;
c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan tempat
hakim;
d. tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri
depan dari tempat hakim dan
tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum;
e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di
depan tempat hakim;
f. tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di
belakang kursi pemeriksaan;
g. tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang
telah didengar;
h. bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim
dan panji Pengayoman
ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang
Negara ditempatkan pada dinding
bagian atas di belakang meja hakim;
i. tempat rohaniwan terletak di sebelah kiri tempat
panitera;
j tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i diberi
tanda pengenal;
k. tempat petugas keamanan dibagian pintu masuk utama ruang
sidang dan ditempat lain yang
dianggap perlu.
(4) Apabila sidang pengadilan dilangsungkan diluar gedung
pengadilan, maka tata tempat
sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan ayat (3) tersebut
diatas.
(5) Dalam hal ketentuan ayat (3) tidak mungkin dipenuhi maka
sekurang-kurangnya bendera
nasional harus ada.
Pasal 231
(1) Jenis, bentuk dan warna pakaian sidang serta atribut
yang berhubungan dengan perangkat
kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 230 ayat (2)
dan ayat (3) diatur dengan
peraturan pemerintah.
(2) Pengaturan lebih lanjut tata tertib persidangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 217
ditetapkan dengan keputusan Menteri Kehakiman. Pasal 232
(1) Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum,
penasihat hukum dan pengunjung yang
sudah ada, duduk ditempatnya masing-masing dalam ruang
sidang.
(2) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang
semua yang hadir berdiri
untuk menghormat.
(3) Selama sidang berlangsung setiap orang yang keluar masuk
ruang sidang diwajibkan
memberi hormat.
BAB XVII
UPAYA HUKUM BIASA
Bagian Kesatu
Pemeriksaan Tingkat Banding
Pasal 233
(1) Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
dapat diajukan ke pengadilan
tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu
atau penuntut umum.
(2) Hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) boleh diterima oleh
panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah
putusan dijatuhkan atau setelah
putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
196 ayat (2).
(3) Tentang permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat
keterangan yang ditandatangani
olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan kepada
pemohon yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal pemohon tidak dapat rnenghadap, hal ini harus
dicatat oleh panitera dengan
disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam
berkas perkara serta juga ditulis dalam
daftar perkara pidana.
(5) Dalam hal pengadilan negeri menerima permintaan banding,
baik yang diajukan oleh
penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh
penuntut umum dan terdakwa
sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan
dari pihak yang satu kepada pihak
yang lain.
Pasal 234
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
233 ayat (2) telah lewat
tanpa diajukan permintaan banding oleh yang bersangkutan,
maka yang bersangkutan
dianggap menenima putusan.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka panitera
mencatat dan membuat
akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada
berkas perkara.
Pasal 234
(1) Selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan
tinggi, permintaan banding dapat
dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut,
permintaan banding dalam perkara itu
tidak boleh diajukan lagi.
(2) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum
diputus sedangkan sementara itu
pemohon mencabut permintaan bandingnya, maka pemohon
dibebani membayar biaya
perkara yang telah dikeluarkan oleh pengadilan tinggi hingga
saat pencabutannya.
Pasal 236
(1) Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari sejak
permintaan banding diajukan,
panitera mengirimkan salinan putusan pengadilan negeri dan
berkas perkara serta surat bukti
kepada pengadilan tinggi.
(2) Selama tujuh hari sebelum pengiriman berkas perkara
kepada pengadilan tinggi, pemohon
banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas
perkara tersebut di pengadilan
negeri.
(3) Dalam hal pemohon banding yang dengan jelas menyatakan
secara tertulis bahwa ia akan
mempelajari berkas tersebut di pengadilan tinggi, maka
kepadanya wajib diberi kesempatan
untuk itu secepatnya tujuh hari setelah berkas perkara
diterima oleh pengadilan tinggi,
(4) Kepada setiap pemohon banding wajib diberi kesempatan
untuk sewaktu-waktu meneliti
keaslian berkas perkaranya yang sudah ada di pengadilan
tinggi.
Pasal 237
Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara
dalam tingkat banding, baik
terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat
menyerahkan memori banding atau
kontra memori banding kepada pengadilan tinggi.
Pasal 238
(1) Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan oleh
pengadilan tinggi dengan sekurangkurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas
perkara yang diterima dari pengadilan negeri
yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dan penyidik,
berita acara pemeriksaan di sidang
pengadilan negeri, beserta semua surat yang timbul di sidang
yang berhubungan dengan
perkara itu dan putusan pengadilan negeri.
(2) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke
pengadilan tinggi sejak saat
diajukannya permintaan banding.
(3) Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara
banding dari pengadilan negeri,
pengadilan tinggi wajib mempelajarinya untuk menetapkan
apakah terdakwa perlu tetap
ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun
atas permintaan terdakwa. (4) Jika
dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau
saksi
atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam
surat panggilan kepada
mereka tentang apa yang ingin diketahuinya.
PasaI 239
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 157 dan Pasal
220 ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat
banding.
(2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157
ayat (1) berlaku juga antara
hakim dan atau panitera tingkat banding, dengan hakim atau
panitera tingkat pertama yang
telah mengadili perkara yang sama.
(3) Jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat
pertama kemudian tekah menjadi
hakim pada pengadilan tinggi, maka hakim tersebut dilarang
memeriksa perkara yang sama
dalam tingkat banding.
Pasal 240
(1) Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam
pemeriksaan tingkat pertama ternyata
ada kelalaian dalam pénerapan hukum acara atau kekeliruan
atau ada yang kurang lengkap,
maka pengadilan tinggi dengan suatu keputusan dapat
memerintahkan pengadilan negeri
untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi
melakukannya sendiri.
(2) Jika perlu pengadilan tinggi dengan keputusan dapat
membatalkan penetapan dari
pengadilan negeri sebelum putusan pengadilan tinggi
dijatuhkan.
Pasal 241
(1) Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
tersebut di atas
dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi
memutuskan, menguatkan atau
mengubah atau dalam hal membatalkan putusan pengadilan
negeri, pengadilan tinggi
mengadakan putusan sendiri.
(2) Dalam hal pembatalan tersebut terjadi atas putusan
pengadilan negeri karena ia tidak
berwenang memeriksa perkara itu, maka berlaku ketentuan
tersebut pada Pasal 148.
Pasal 242
Jika dalam pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang
dipidana itu ada dalam tahanan, maka
pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya
terdakwa perlu tetap ditahan atau
dibebaskan.
Pasal 243
(1) Salinan surat putusan pengadilan tinggi beserta berkas
perkara dalam waktu tujuh hari
setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada
pengadilan negeri yang memutus pada
tingkat pertama. (2)
Isi surat putusan setelah dicatat dalam buku register segera diberitahukan
kepada terdakwa
dan penuntut umum oleh panitera pengadilan negeri dan
selanjutnya pemberitahuan tersebut
dicatat dalam salinan surat putusan pengadilan tinggi.
(3) Ketentuan mengenai putusan pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 226
berlaku juga bagi putusan pengadilan tinggi.
(4) Dalam hal terdakwa bertempat tinggal di luar daerah
hukum pengadilan negeri tersebut,
panitera minta bantuan kepada panitera pengadilan negeri
yang dalam daerah hukumnya
terdakwa bertempat tinggal untuk memberitahukan isi surat
putusan itu kepadanya.
(5) Dalam hal terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya
atau bertempat tinggal di luar negeri,
maka isi surat putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
disampaikan melalui kepala
desa atau pejabat atau melalui perwakilan Republik
Indonesia, di mana terdakwa biasa
berdiam dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan,
terdakwa dipanggil dua kali
berturut-turut melalui dua buah surat kabar yang terbit
dalam daerah hukum pengadilan negeri
itu sendiri atau daerah yang berdekatan dengan daerah itu.
BAB XVI
UPAYA HUKUM BIASA
Bagian Kedua
Pemeriksaan Untuk Kasasi
Pasal 244
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan lain
selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum
dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali
terhadap putusan bebas.
Pasal 245
(1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada
panitera pengadilan yang telah
memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat
belas hari sesudah putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada
terdakwa.
(2) Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah
surat keterangan yang
ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat
dalam daftar yang dilampirkan pada
berkas perkara.
(3) Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi,
baik yang diajukan oleh
penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh
penuntut umum dan terdakwa
sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan
dari pihak yang satu kepada pihak
yang lain.
Pasal 246(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat
tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan,
maka yang bersangkutan
dianggap menerima putusan.
(2) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1). pemohon terlambat
mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu gugur.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat
(2), maka panitera mencatat
dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta
tersebut pada berkas perkara.
Pasal 247
(1) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh
Mahkamah Agung, permohonan
kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah
dicabut, permohonan kasasi dalam
perkara itu tidak dapat diajukan lagi.
(2) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim
ke Mahkamah Agung, berkas
tersebut tidak jadi dikirimkan.
(3) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum
diputus, sedangkan sementara itu
pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani
membayar biaya
perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga
saat pencabutannya.
(4) Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali.
Pasal 248
(1) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang
memuat alasan permohonan
kasasinya dan dalam waktu empat belas hari setelah
mengajukan permohonan tersebut, harus
sudah menyerahkannya kepada panitera yang untuk itu ia
memberikan surat tanda terima.
(2) Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang
memahami hukum, panitera pada
waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah
alasan ia mengajukan
permohonan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori
kasasinya.
(3) Alasan yang tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 253 ayat (1) undang-undang ini.
(4) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), pemohon terlambat
menyerahkan memori kasasi maka hak untuk mengajukan
permohonan kasasi gugur.
(5) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 246 ayat (3)
berlaku juga untuk ayat (4) pasal
ini.
(6) Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu
pihak, oleh panitera disampaikan
kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan
kontra memori kasasi.
(7) Dalam tenggang waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1),
panitera menyampaikan
tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula
mengajukan memori kasasi. Pasal 249
(1) Dalam hal salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu
yang perlu ditambahkan dalam
memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya
diberikati kesempatan untuk
mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 248
ayat (1).
(2) Tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas
diserahkan kepada panitera
pengadilan.
(3) Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari setelah
tenggang waktu tersebut dalam
ayat (1), permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh
panitera pengadilan segera
disampaikan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 250
(1) Setelah panitera pengadilan negeri menerima memori dan
atau kontra memori
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) dan ayat (4),
Ia wajib segera mengirim
berkas perkara kepada Mahkamah Agung.
(2) Setelah panitera Mahkamah Agung menerima berkas perkara
tersebut ia seketika
mencatatnya dalam buku agenda surat, buku register perkara
dan pada kartu penunjuk.
(3) Buku register perkara tersebut pada ayat (2) wajib
dikerjakan, ditutup dan ditandatangani
oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui
ditandatangani juga karena jabatannya
oleh Ketua Mahkamah Agung.
(4) Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, maka
penandatanganan dilakukan oleh
WakiI Ketua Mahkamah Agung dan jika keduanya berhalangan
maka dengan surat keputusan
Ketua Mahkamah Agung ditunjuk hakim anggota yang tertua
dalam jabatan.
(5) Selanjutnya panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat
bukti penerimaan yang aslinya
dikirimkan kepada panitera pengadilan negeri yang
bersangkutan, sedangkan kepada para
pihak dikirimkan tembusannya.
Pasal 251
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 157 berlaku
juga bagi perneriksaan perkara
dalam tingkat kasasi.
(2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157
ayat (1) berlaku juga antara
hakim dan atau panitera tingkat kasasi dengan hakim dan atau
panitera tingkat banding serta
tingkat pertama. yang telah mengadili perkara yang
sama.
(3) Jika seorang hakim yang mengadili perkara dalam tingkat
pertama atau tingkat banding,
kemudian telah menjadi hakim atau panitera pada Mahkamah
Agung, mereka dilarang
bertindak sebagai hakim atau panitera untuk perkara yang
sama dalam tingkat kasasi.
Pasal 252(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 220
ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi
pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi.
(2) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai
hal Sebagaimana tersebut pada
ayat (1), maka dalam tingkat kasasi:
a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai
pejabat yang berwenang
menetapkan;
b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang
berwenang menetapkannya
adalah suatu panitia yang terdiri dari tiga orang yang
dipilih oleh dan antar hakim anggota yang
seorang diantaranya harus hakim anggota yang tertua dalam
jabatan.
Pasal 253
(1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah
Agung atas permintaan para
pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248
guna menentukan
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana
mestinya;
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang;
c. apakab benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
(2) Pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan
dengan sekurang-kurangnya
tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima
dari pengadilan lain dari pada
Mahkamah Agung, yang terdiri dari berita acara pemeriksaan
dari penyidik, berita acara
pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang
yang berhubungan dengan perkara
itu beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau
tingkat terakhir.
(3) Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan
sebagaimana tersebut pada ayat (1),
Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa
atau saksi atau penuntut
umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat
panggilan kepada mereka tentang apa
yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula
memerintahkan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk mendengar
keterangan mereka, dengan cara
pemanggilan yang sama.
(4) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah
Agung sejak diajukannya
permohonan kasasi.
(5) a. Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara
kasasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) Mahkamah Agung Wajib mempelajarinya untuk
menetapkan apakah terdakwa
perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang
jabatannya maupun atas permintaan
terdakwa.
b. Dalam hal terdakwa tetap ditahan, maka dalam waktu empat
belas hari, sejak penetapan
penahanan Mahkarnah Agung wajib memeriksa perkara
tersebut.
Pasal 254Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan
kasasi karena telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245, Pasal 246
dan Pasal 247, mengenai
hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau
mengabulkan permohonan kasasi.
Pasal 255
(1) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan
hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung
mengadili sendiri perkara tersebut.
(2) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili
tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai
petunjuk agar pengadilan
yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi
mengenai bagian yang
dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung
dapat menetapkan perkara
tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.
(3) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan
atau hakim yang bersangkutan
tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung
menetapkan pengadilan atau
hakim lain mengadili perkara tersebut.
Pasal 266
Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
254, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang
dimintakan kasasi dan dalam
hal itu berlaku ketentuan Pasal 255.
Pasal 257
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 226 dan Pasal 243
berlaku juga bagi putusan
kasasi Mahkamah Agung, kecuali tenggang waktu tentang
pengiriman salinan putusan beserta
berkas perkaranya kepada pengadilan yang memutus pada
tingkat pertama dalam waktu tujuh
hari.
Pasal 258
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 244 sampal dengan
Pasal 257 berlaku bagi
acara permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
BAB XVIII
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
Bagian Kesatu
Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Pasal 259(1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah
Agung, dapat diajukan satu kali
permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.
(2) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh
merugikan pihak yang berkepentingan.
Pasal 260
(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan
secara tertulis oleh Jaksa
Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang
telah memutus perkara
dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan
permintaan itu.
(2) Salinan risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh
panitera segera disampaikan
kepada pihak yang berkepentingan.
(3) Ketua pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan
permintaan itu kepada
Mahkamah Agung.
Pasal 261
(1) Salinan putusan kasasi demi kepentingan hukum oleh
Mahkamah Agung disampaikan
kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan
dengan disertai berkas
perkara.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2)
dan ayat (4) berlaku juga
dalam hal ini.
Pasal 262
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259, Pasal 260,
dan Pasal 261 berlaku bagi
acara permohonan kasasi demi kepentingan hukum terhadap
putusan pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
BAB XVIII
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
Bagian Kedua
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan
Yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Pasal 263
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung.
(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a.
apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan
itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas
atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat
diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan
pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa
sesuatu telah terbukti, akan
tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan
yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhiIafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada
ayat (2) terhadap suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat
diajukan permintaan
peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan
yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu
pemidanaan.
Pasal 264
(1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 263
ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah
memutus perkaranya dalam tingkat
pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2)
berlaku juga bagi permintaan
peninjauan kembali.
(3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan
suatu jangka waktu.
(4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana
yang kurang memahami hukum,
panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali
wajib menanyakan apakah
alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu
panitera membuatkan surat
permintaan peninjauan kembali.
(5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan
peninjauan kembali beserta berkas
perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan
penjelasan.
Pasal 265
(1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan
kembali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak
memeriksa perkara semula
yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa
apakah permintaan peninjauan
kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 263 ayat (2).
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1),
pemohon dan jaksa ikut hadir
dan dapat menyampaikan pendapatnya.
(3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara
pemeriksaan yang ditandatangani oleh
hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita
acara itu dibuat berita acara
pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera. (4) Ketua pengadilan segera melanjutkan
permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas
perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara
pendapat kepada Mahkamah
Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada
pemohon dan jaksa.
(5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan
kembali adalah putusan pengadilan
banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus
dilampiri tembusan berita acara
pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan
kepada pengadilan banding yang
bersangkutan.
Pasal 266
(1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana
tersebut pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa
permintaan
peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai
dasar alasannya
(2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan
peninjauan kembali dapat
diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung menolak
permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa
putusan yang dimintakan
peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar
pertimbangannya;
b. apabila Mahkarnah Agung membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung membatalkan
putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan
menjatuhkan putusan yang dapat berupa:
1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
(3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali
tidak boleh melebihi pidana
yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
Pasal 267
(1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan
kembali beserta berkas perkaranya
dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan,
dikirim kepada pengadilan yang
melanjutkan permintaan peninjauan kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2),
ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)
berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan
kembali.
Pasal 268
(1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak
menangguhkan maupun
menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. (2) Apabila suatu permintaan peninjauan
kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan
sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan
atau tidaknya peninjauan
kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli
warisnya.
(3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya
dapat dilakukan satu kali saja.
PasaI 269
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan
Pasal 268 berlaku bagi
acara permintaan peninjauan kembali terhadap putusan
pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer.
BAB XIX
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 270
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dilakukan
oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengrimkan salinan surat
putusan kepadanya.
Pasal 271
Dalam hal pidana mati pelaksanaannya dilakukan tidak di muka
umum dan menurut ketentuan
undang-undang.
Pasal 272
Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian
dijatuhi pidana yang sejenis
sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka
pidana itu dijalankan berturutturut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih
dahulu.
Pasal 273
(1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada
terpidana diberikan jangka
waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam
putusan acara pemeriksaan
cepat yang harus seketika dilunasi.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana
tersebut pada ayat (1) dapat
diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
(3) Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang
bukti dirampas untuk negara,
selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46,
jaksa menguasakan benda tersebut
kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk
dijual lelang, yang hasilnya
dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa. (4) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada
ayat (3) dapat diperpanjang untuk paling lama
satu bulan.
Pasal 274
Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tatacara
putusan perdata.
Pasal 275
Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara,
maka biaya perkara dan atau ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 274 dibebankan
kepada mereka bersama-sama
secara berimbang.
Pasal 276
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, maka
pelaksanaannya dilakukan dengan
pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut
ketentuan undangundang.
BAB XX
PENGAWASAN DAN PENGAMATAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 277
(1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas
khusus untuk membantu ketua
dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan
pengadilan yang
menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut
hakim pengawas dan
pengamat, ditunjuk oleh ketua petigadilan untuk paling lama
dua tahun.
Pasal 278
Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan
pengadilan yang
ditandatangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan dan
terpidana kepada pengadilan
yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera
mencatatnya dalam register
pengawasan dan pengamatan.
Pasal 279
Register pengawasan dan pengamatan sebagaimana tersebut pada
Pasal 278 wajib
dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada
setiap hari kerja dan untuk diketahui
ditandatangani juga oleh hakim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 277.
Pasal 280(1) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan
pengawasan guna memperoleh kepastian
bahwa .putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
(2) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk
bahan penelitian demi
ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh
dari perilaku narapidana atau
pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal-balik
terhadap narapidana selama
menjalani pidananya.
(3) Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tetap
dilaksanakan setelah terpidana
selesai menjalani pidananya.
(4) Pengawas dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
277 berlaku pula bagi
pemidanaan bersyarat.
Pasal 281
Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga
pemasyarakatan
menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu
tentang perilaku narapidana
tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut.
PasaI 282
Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim
pengawas dan pengamat
dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan
tentang cara pembinaan
narapidana tertentu.
Pasal 283
Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim
pengawas dan pengamat kepada
ketua pengadilan secara berkala.
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 284
(1) Terhadap perkara yang ada sebelum undang-undang ini
diundangkan, sejauh mungkin
diberlakukan ketentuan undang-undang ini.
(2) Dalam waktu dua tahun setelah undang undang ini
diundangkan maka terhadap semua
perkara diberlakukan ketentuan undang undang ini, dengan
pengecualian untuk sementara
mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada undang-undang tertentu,
sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku
lagi. BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 285
Undang-undang ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
Pasal 286
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1981
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO,SH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 76